Begini Cara Amerika Serikat Memilih Hakim

“Ya, di sini hakim juga dipilih secara langsung,” ujar pengajar Pengantar Ilmu Hukum di Everett Community College, Gary Newlin seperti dinukil dalam laman hukumonline.
Gary, yang juga berprofesi sebagai pengacara, menjelaskan setiap negara bagian memiliki cara yang berbeda untuk memilih para hakim untuk pengadilan lokalnya. Ia mencatat setidaknya ada tiga cara untuk memilih hakim di pengadilan negara bagian.
Pertama, melalui pemilihan langsung oleh rakyat melalui pemilu. Kedua, hakim ditunjuk oleh Gubernur Negara Bagian atau Parlemen lokal. Ketiga, ada sebuah komisi yang berisi ahli hukum yang merekomendasikan beberapa hakim untuk dipilih oleh gubernur atau parlemen.
“Hakim di Pengadilan Federal sistemnya dengan ditunjuk, sedangkan hakim di Pengadilan Negara Bagian sistemnya dengan tiga cara tersebut,” jelasnya.
Sistem Peradilan di AS
Tingkat | Pengadilan Federal | Pengadilan Negara Bagian |
Tingkat Pertama | US District Courts | Trial Courts |
Banding | US Court of Appeals | Court of Appeals |
Kasasi | US Supreme Court | Supreme Courts |
Lebih lanjut, Gary menjelaskan sistem pemilihan hakim secara langsung ini memiliki keuntungan dan kelemahan. Keuntungannya, karena hakim dipilih langsung oleh rakyat, maka hakim akan membuat putusan yang lebih dekat kepada unsur keadilan bagi masyarakat.
Bila hakim tak ‘mengikuti’ masyarakat maka nanti dia tak akan dipilih lagi oleh rakyat pada pemilihan berikutnya. “Ini membuat hakim lebih responsif terhadap apa yang menjadi kepedulian masyarakat ketika menangani suatu kasus,” jelasnya.
Sisi negatifnya, si hakim kelak hanya akan memutus berdasarkan apa yang populer di mata masyarakat. Bukan berdasarkan hukum atau fakta hukum yang ada di persidangan. “Padahal, hakim itu harus memutus berdasarkan hukum yang berlaku,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Gary, hakim yang terpilih belum tentu hakim yang terbaik. Pasalnya, pemilihan dilakukan oleh masyarakat ‘biasa’ yang mungkin saja tak mengetahui banyak informasi mengenai hukum atau latar belakang si hakim. “Berbeda halnya bila hakim dipilih oleh para ahli. Tapi, setiap sistem ada kelemahan dan kelebihannya masing-masing,” ujarnya.
Penjelasan Gary boleh jadi benar. Contohnya, apa yang dialami oleh salah seorang warga Washington State bernama Jesse Keppen ketika akan menggunakan hak pilihnya. Dalam kertas suara yang diterima melalui pos, ada beberapa isu atau pemilihan yang harus dipilih oleh warga.
Di antaranya, pemilihan presiden, pembuatan undang-undang mengenai pernikahan sesama jenis di Washington State, dan isu legalisasi ganja untuk wilayah Washington State. Ketika memilih beberapa topik yang ‘sering diperdebatkan’ ini, Jesse terlihat lancar memilih.
Namun, dahinya berkernyit ketika masuk ke pemilihan hakim. “Saya biasanya tak memilih hakim. Saya hanya memilih hakim yang saya tahu track recordnya,” ujarnya.
Dalam pemilihan hakim pada Supreme Court of Washington ini setidaknya ada empat kandidat hakim yang bertarung untuk tiga posisi hakim yang lowong. Namun, uniknya dalam beberapa pos, calon hakim hanya satu orang. Pos 2 hanya ada Susan Owens dan Pos 8 hanya ada Steve Gonzales. Sedangkan di Pos 9, baru ada dua calon yakni Sheryl Gordon Mccoud dan Richard B Sanders.
“Saya hanya memilih pos yang hanya satu calon, karena walaupun saya tak tahutrack record-nya, mereka sudah hampir pasti terpilih,” tuturnya.
Cara Berkampanye
Gary mengakui masyarakat memang sulit untuk menilai calon hakim dalam pemilihan karena karakteristik hakim berbeda dengan politikus. Bila politikus bebas menyampaikan opini atau pendapatnya terhadap suatu masalah, hakim memiliki keterbatasan.
“Hakim harus tetap sebagai non-partisan, harus objektif. Dia tak bisa mengatakan bila kamu memilih saya, saya akan memutus seperti ini. Atau tak akan memutus dengan cara ini,” ujarnya.
Karenanya, informasi yang digunakan untuk memilih hakim biasanya hanya sebatas kepada track record-nya. Misalnya, seperti si calon berasal dari lulusan universitas mana, apa pengalaman pekerjaan sebelumnya, dan apa yang sudah dia lakukan selama ini.
“Ketika saya akan memilih hakim, saya akan menilai apakah calon ini cerdas, berpendidikan baik, apakah mempunyai integitas untuk membuat putusan yang objektif,” ujarnya.
Biasanya, yang mengetahui informasi-informasi semacam ini adalah para pengacara yang sering menangani perkara. “Mereka tahu apakah hakim ini (yang mencalonkan kembali,-red) bagus atau tidak,” ujarnya.
Perhimpunan Advokat di tingkat lokal bahkan memiliki sistem untuk menilai atau me-ranking seorang hakim, dengan mengumpulkan informasi dari anggota-anggotanya. Lalu, penilaian ini akan disajikan kepada publik untuk menjadi pertimbangan dalam memilih hakim.
Jadi, bagaimana Indonesia? Tertarik menggunakan sistem pemilihan langsung untuk para hakim?
Editor : Syl