Seberapa Religiuskah Kita?
JAKARTA,BritaBrita.com — Pada masa millenial ini, agama tidak kehilangan tempat di hati para pemeluknya. Standar lebih terukur diberikan oleh Lembaga Win/Gallup International. Institusi statistik asal Amerika Serikat ini menggelar survei tingkat religiositas penduduk dunia. Ada 63.898 orang diwawancarai mengenai topik religiositas.
Dalam survei yang dilakukan pada 2014 itu, penduduk Indonesia yang mengaku religius sebanyak 82 persen dari total responden. Merujuk data Win/Gallup, sebanyak 15 persen responden asal Indonesia menyatakan dirinya tidak religius. Namun, tidak ada sama sekali responden dari Tanah Air yang menyatakan diri ateis.
Di Indonesia, Muslim menjadi mayoritas dengan jumlah 209 juta jiwa, merujuk pada sensus 2010. Hasil survei Win/Gallup terbukti pada rentetan Aksi Bela Islam menjelang akhir 2016. Aksi massa untuk melawan penistaan terhadap agama itu ditahbiskan sebagai demonstrasi terbesar dalam sejarah republik.
Indikator lainnya tentang peningkatan religiositas terlihat pada meningkatnya kesadaran publik terhadap produk halal. Ini pun direspons dengan meningkatnya produk bersertifikat halal yang beredar di pasaran. Berdasarkan data dari LPPOM MUI, sejak 2010 hingga 2015, LPPOM MUI telah mengeluarkan sertifikasi halal untuk 309.115 perusahaan. Jumlah ini masih bisa meningkat jika Undang-Undang (UU) Jaminan Produk Halal berhasil direalisasikan.
Komunitas pencinta Alquran pun bertumbuh. Ratusan ribu orang terdaftar menjadi anggota One Day One Juz (ODOJ). Komunitas lainnya untuk menggelorakan shalat Tahajud juga bermunculan. Lewat teknologi yang berkembang, Muslim yang belum tentu kenal dengan Muslim lainnya dapat mengingatkan untuk shalat Tahajud.
Kesadaran berzakat juga membaik. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bahkan mencatat, pertumbuhan penghimpunan zakat nasional sejak 2012 hingga sekarang meningkat 30 persen. Pada tahun ini, realisasi penghimpunan zakat nasional mencatat angka sekitar Rp 4,2 triliun dengan potensi mencapai Rp 274 triliun.
Merujuk pada indikator di atas, pertanyaan lantas menyeruak. Benarkah kita sudah begitu religius sehingga patut untuk menyandang termasuk dalam golongan orang-orang saleh? Ataukah kita hanya kencang dalam gema tetapi minim dalam kualitas? Jumlah orang banyak ini pun tak lebih mulia dari buih-buih di lautan.
Di dalam QS Ali Imran ayat 113-114, Allah SWT menyebutkan ciri-ciri golongan orang saleh. “Mereka itu tidak sama. Di antara ahli kitab itu, ada golongan yang berlaku lurus, mereka membacakan ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Allah di hari penghabisan. Mereka menyeru yang makruf dan mencegah yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka itu termasuk orang-orang saleh.”
Ciri lainnya tertera pada QS al-Ankabut ayat 9. “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang saleh.”
Orang saleh juga memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang lain. Hanya doa orang saleh yang bisa menyambung amalan orang tua yang sudah wafat. ”Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang berdoa kepadanya.” (HR Muslim).
Ketua Yayasan Madinatul Ilmi Ustaz Muhammad Hisyam Asyiqin menjelaskan, secara etimologi, kata shalih berasal dari shaluha-yashluhu– shalahan yang artinya ‘baik’, ‘tidak rusak’, dan ‘patut’. Sedangkan, shalih merupakan isim fa’il dari kata tersebut di atas yang berarti ‘orang yang baik’, ‘orang yang tidak rusak’, dan ‘orang yang patut’.
Menurut definisi Alquran yang menukil dari ayat di atas, saleh adalah orang yang senantiasa membaca Alquran pada malam hari, melaksanakan shalat malam (Tahajud), beriman, dan beramal saleh, menyuruh kepada kebaikan, mencegah perbuatan munkar, dan bersegera mengerjakan kebajikan.
Kita patut berbaik sangka dan optimistis bahwa umat Islam sedang menuju kesalehan seperti apa yang disebutkan Alquran. Setidaknya, ada gejala peningkatan kesadaran beragama yang semakin terasa di tengah masyarakat.
Hanya, Rasulullah SAW pernah mengingatkan kepada kita tentang kondisi umat Islam pada akhir zaman. Dia bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Ahmad, al-Baihaqi, Abu Dawud)
Melihat kondisi sekarang, hadis tersebut masih relevan untuk direnungkan. Ada kalanya penyakit cinta akan dunia dan takut mati masih merasuk kepada jiwa kita. Ini terlihat manakala adanya perpecahan dan konflik di dalam tubuh umat Islam sehingga mengecilkan umat itu sendiri. Umat Islam sering kali disibukkan dengan pertengkaran antarsesama saudara Muslim. Kasus upaya paksa penggantian penceramah di Sidoarjo, Jawa Timur, oleh sebuah organisasi masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai toleransi merupakan salah satu peristiwa yang harus menjadi ajang interospeksi.
Mungkin saja apa yang menimpa umat ini merupakan ujian agar kita menjadi umat terbaik seperti zaman rasul dan sahabat. Bukankah Rasulullah SAW, ditukil dari HR Tirmizi dan Ibnu Majah, berpesan bahwa seorang hamba akan diuji sebanding dengan kualitas agamanya? Apabila agamanya begitu kuat maka semakin berat pula ujiannya. Jikalau agamanya lemah maka ia akan diuji juga sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa. Wallahualam.
Sumber : Republika.co.id
Editor : Syl