Empat Hal yang Paling Menakutkan dari Kecerdasan Buatan

BritaBrita.com,Jakarta – Ketika orang berpikir tentang kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), film-film Hollywood seperti “Blade Runner” dan “The Terminator” telah membuat kita takut dan berpikir AI akan melawan sistem pemrograman dan berlanjut kepada perlawanan terhadap manusia.
Untuk industri yang memiliki nilai bisnis US$ 1 triliun atau sekitar Rp 14.400 triliun pada tahun ini dan hampir mencapai US$ 4 triliun atau sekitar Rp 57.600 triliun pada 2022, setiap keraguan besar atas implikasi etisnya dapat memiliki konsekuensi yang signifikan.
AI adalah kata kunci yang sering muncul di dunia bisnis dan media. Hal ini sudah memiliki efek nyata bagi banyak industri, dan tidak sedikit dari berbagai industri tersebut yang bergantung pada sebagian besar tenaga kerja manual.
Ketika AI semakin mendekati kematangannya dan investasi di dalamnya semakin meningkat, beberapa pihak khawatir hal ini akan berdampak pada kehidupan sosial dan teknologi.
Seperti dikutip dari CNBC International, berikut empat hal terburuk yang mungkin terjadi akibat AI di masa depan menurut para pakar:
1.Pengangguran Massal
Ketakutan umum di kalangan analis adalah kemungkinan bahwa AI akan mengakibatkan pengangguran massal di dunia karena setiap pekerjaan akan menjadi serba otomatis dan tenaga manusia tidak lagi diperlukan.
“Kehilangan pekerjaan mungkin merupakan kekhawatiran terbesar,” kata Alan Bundy, seorang profesor di sekolah informatika Universitas Edinburgh.
“Manusia akan dibutuhkan untuk mengatur beberapa aplikasi berskala kecil, dan untuk menemukan kasus-kasus sampingan yang tidak dapat mereka tangani, tetapi ini tidak akan mengurangi terjadinya pengangguran massal – setidaknya tidak untuk waktu yang sangat lama,” tambahnya.
Sementara itu, kelompok pendukung AI mengatakan bahwa teknologi akan mengarah pada penciptaan jenis pekerjaan baru. Kebutuhan insinyur akan meningkat karena kecanggihan teknologi baru. Manusia juga harus menggunakan AI untuk melakukan fungsi baru dalam kegiatan sehari-hari.
Firma riset Gartner memprediksi bahwa AI akan menciptakan 2,3 juta pekerjaan dan menghilangkan 1,8 juta pekerjaan (dengan pertumbuhan 500.000 pekerjaan) pada 2020. Hal tersebut menunjukkan bahwa AI akan membuat banyak PHK terjadi di seluruh dunia.
Sebuah studi 2013 yang sering direferensikan oleh Oxford University menunjukkan bahwa beberapa pekerjaan yang paling mungkin hilang adalah pekerjaan yang penting (meskipun kurang terampil) yang membuat industri keuangan bergerak, termausk teller bank, underwriter asuransi, dan petugas pajak.
Meskipun AI memungkinkan tenaga kerja untuk meningkatkan kemampuannya dan mendapatkan pekerjaan baru, sudah jelas masalah kehilangan pekerjaan tidak akan hilang dalam waktu dekat.
2.Perang
Munculnya istilah “robot pembunuh” dan penggunaan AI lainnya dalam dunia militer membuat para ahli khawatir teknologi itu bisa menimbulkan perang.
Chief Executive Tesla Elon Musk, yang dikenal karena pandangannya yang terang-terangan terhadap AI, tahun lalu memperingatkan bahwa teknologi itu dapat mengakibatkan Perang Dunia III.
Komentar Musk tersebut memberikan rasa takut yang sangat nyata bagi para ahli. Beberapa analis berpendapat bahwa pengembangan senjata otonom mematikan dan penggunaan AI dalam pengambilan keputusan militer membuka kemungkinan perang AI semakin meningkat.
Bahkan ada sekelompok LSM yang berdedikasi untuk melarang mesin-mesin semacam itu. Kampanye untuk menghentikan “Robot Pembunuh” yang dibentuk pada 2013, menuntut pemerintah untuk mencegah pengembangan drone berkekuatan AI dan kendaraan lain.
“Satu-satunya daerah di mana saya benar-benar berpikir kata ‘menakutkan’ berlaku adalah sistem senjata otonom … sistem yang mungkin atau mungkin tidak terlihat seperti robot,” kata Frank van Harmelen, peneliti AI di Vrije Universiteit Amsterdam.
“Setiap sistem komputer, AI atau tidak, yang secara otomatis memutuskan masalah hidup dan mati – misalnya, dengan meluncurkan rudal – adalah ide yang sangat menakutkan.”
Awal tahun ini, think-tank pertahanan AS, Rand Corporation, memperingatkan dalam sebuah studi bahwa penggunaan AI dalam aplikasi militer dapat menimbulkan perang nuklir pada tahun 2040.
3.Dokter Robot
Sebagian besar dari para ahli sepakat tentang manfaat AI di dunia medis, seperti mendiagnosis penyakit sejak awal. Namun, beberapa ahli lainnya menyebutkan salah satu ketakutan di kalangan akademisi adalah orang-orang terlalu bergantung pada AI untuk menyelesaikan berbagai tugas.
Menurut Bundy, ketergantungsn ini bisa berpotensi menimbulkan konsekuensi bagi industri kesehatan. “Sebuah aplikasi diagnosis medis, yang sangat baik untuk masalah jantung, mungkin mendiagnosis seorang pasien kanker dengan beberapa jenis masalah jantung yang langka, dengan hasil yang berpotensi fatal,” katanya.
Baru minggu lalu, sebuah laporan publikasi yang berfokus pada kesehatan mengutip dokumen internal IBM yang menunjukkan bahwa aplikasi milik Watson (Watson Health) telah membuat beberapa rekomendasi pengobatan kanker yang tidak benar. Menurut artikel itu, aplikasi tersebut dibuat hanya untuk menangani sebagian kecil kasus dan skenario hipotetis dari data pasien yang sebenarnya.
Kekhawatiran lainnya adalah data pasien yang digunakan dan disimpan dalam aplikasi tersebut dapat berdampak buruk bagi privasi pasien.
Sebagai contoh, DeepMind. Perusahaan AI milik Google ini menandatangani kesepakatan dengan Layanan Kesehatan Nasional Inggris pada tahun 2015 sehingga memberikan akses data kesehatan 1,6 juta pasien Inggris untuk meningkatkan kemampuan programnya untuk mendeteksi penyakit.
Namun, tahun lalu pengawas privasi Inggris Kantor Komisi Informasi memutuskan bahwa kontrak antara NHS dan DeepMind tersebut tidak mematuhi hukum perlindungan data. Royal Free Hospital di London yang bekerja dengan DeepMind sebagai bagian dari perjanjian disebut tidak transparan tentang penggunaan data pasien.
4.Pengawasan Massal
Para ahli juga khawatir bahwa AI dapat digunakan untuk pengawasan massal. Di China, ketakutan itu sepertinya menjadi kenyataan.
China menggunakan kombinasi teknologi pengenalan wajah dan AI untuk kepentingan pihak berwenang dalam menekan tingkat kejahatan. Menurut laporan New York Timesyang diterbitkan awal bulan ini, China saat ini memiliki sekitar 200 juta kamera pengintai.
Negara yang berlomba-lomba menjadi pemimpin global dalam AI pada tahun 2030 ini ingin meningkatkan nilai sektor AI-nya menjadi 1 triliun yuan (US$ 146,6 miliar).
Salah satu perusahaan yang memimpin AI dan teknologi pengenalan wajah adalah SenseTime. Dengan nilai bisnis US$ 4,5 miliar, SenseTime yang didukung Alibaba memberikan otoritas di Guangzhou dan provinsi Yunnan dengan identifikasi wajah bertenaga AI.
SenseTime mengatakan di situs webnya bahwa biro keamanan publik Guangzhou telah mengidentifikasi lebih dari 2.000 tersangka kejahatan sejak tahun 2017 dengan bantuan teknologi tersebut.