Uncategorized

Kenaikan Harga Tiket Pesawat Bikin Hunian Hotel Drop

BritaBrita.com,JAKARTA-Menteri Pariwisata Arief Yahya menyebut kenaikan harga tiket penerbangan domestik berdampak pada melempemnya tingkat hunian (okupansi) hotel pada awal tahun. Di Lombok, misalnya, okupansinya cuma 30 persen atau jauh lebih rendah dari okupansi hotel secara nasional yang berkisar 50-55 persen pada tahun lalu.

“Secara nasional, saya belum menghitung, tetapi beberapa provinsi menyebut okupansi drop dari 60 persen menjadi hanya 30 sampai 40 persen,” katanya saat menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV 2019 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (11/2/2019).

Karenanya, ia mengimbau maskapai penerbangan tidak menaikkan tarif besar-besaran dan mendadak, mengingat dampaknya cukup besar terhadap industri pariwisata. “Kalau penurunan (tarif) boleh besar dan mendadak,” imbuh dia.

Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani membenarkan tren okupansi perhotelan memang cenderung menurun. Ia menyebutkan bahwa okupansi hotel berbintang masih mencapai 56 hingga 57 persen pada 2017 lalu.

Menurut dia, tidak tumbuhnya okupansi hotel tak terlepas dari rendahnya pertumbuhan tamu hotel. Namun, di sisi lain, pertumbuhan jumlah hotel bertumbuh lebih kencang. 
“Memang, pertumbuhan kamarnya juga cukup banyak. Pertumbuhannya memang tidak hanya yang konvensional, tetapi juga nonkonvensional, seperti AirBnB,” ujarnya.

Lebih lanjut ia merinci total jumlah kamar hotel berbintang tahun lalu mencapai 350 ribu kamar dan nonbintang 310 ribu atau naik 25 ribu kamar atau 7,7 persen dibanding tahun lalu.

Untuk menjaga okupansi perhotelan tahun ini, Hariyadi berharap maskapai penerbangan bersedia menurunkan harga tiket penerbangan yang melonjak di awal tahun. Misal, rata-rata harga tiket maskapai Garuda Indonesia melonjak 40 persen karena maskapai pelat merah itu menghilangkan tiket promo dari kelas ekonomi V,T,Q, namun memaksimalkan penjualan tiket kelas ekonomi Y yang lebih mahal.

“Terus terang kami merasa terpukul oleh kenaikan tiket yang dipicu oleh Garuda (Garuda Indonesia),” jelasnya.

Tak hanya itu, maskapai Lion Air juga menerapkan bagasi berbayar yang mengerek biaya tiket pesawat yang dibebankan kepada penumpang.

“Praktek Garuda dan Lion Air ini sudah mengarah ke kartel yang menurut pandangan kami sudah tidak sehat,” terang Hariyadi.

Ia berharap pemerintah membuka kesempatan untuk maskapai regional, seperti JetStar dan Scoot untuk melayani penerbangan antar daerah di Indonesia.

Ia juga menyadari kenaikan harga tiket dan pengenaan tiket bagasi tak terlepas dari tingginya harga avtur. Karenanya, ia berharap penjualan avtur di Indonesia tidak lagi dimonopoli oleh PT Pertamina (Persero).

“Jangan sampai karena Pertamina yang tidak efisien, rakyat yang menanggung,” tutur Hariyadi.

Selain itu, ia meminta pemerintah untuk menghilangkan beban pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen atas penjualan avtur dan suku cadang pesawat.

Okupansi Mandek

Dengan kondisi saat ini, Kementerian Pariwisata memperkirakan okupansi hotel pada 2019 hanya 55 persen untuk hotel berbintang dan 50 persen untuk hotel nonbintang. Proyeksi tersebut sama dengan capaian okupansi tahun lalu atau ini berarti stagnan.

“Proyeksinya (okupansi) masih sama, yaitu sekitar 55 persen,” ujar Arief Yahya.

Sebenarnya, setiap daerah memiliki pola okupansi yang khas. Misalnya, Bali dan Batam, okupansi hotel akan naik saat akhir pekan. Sementara, kondisi terbalik terjadi di Jakarta di mana okupansinya lebih padat pada hari kerja.

Arief menuturkan untuk meningkatkan okupansi hotel diperlukan strategi khusus. Seperti, menggelar program di musim sepi pengunjung. Salah satu daerah yang berhasil adalah Batam di mana okupansinya mulai merangkak naik pada hari kerja karena memberikan diskon.

“Di Batam itu diberikan diskon besar-besaran di saat okupansinya rendah,” jelasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga
Close
  • Coba
Back to top button