BritaBrita.com,Jakarta — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menduga defisit perdagangan yang melebar pada April 2019 tak lepas dari sikap pelaku pasar yang menahan impor sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
Setelah Pemilu usai pada April lalu, pelaku pasar dianggap ‘kejar setoran’ dengan kembali meningkatkan aktivitas impor.
“Saya masih harus melihat apakah ada volume impor yang melambat terutama pada kuartal I Januari-Maret yang kemudian baru direalisasikan pada April,” ujar Sri Mulyani usai menghadiri One Hour University di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (15/5).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor Januari 2019 tercatat US$14,99 miliar. Kemudian, pada Februari 2019 secara bulanan turun 18,4 persen menjadi US$12,23 miliar. Pada Maret 2019, impor kembali menanjak 9,9 persen menjadi US$13,45 miliar. Pada April, impor terus meningkat dibandingkan Maret 2019 hingga menyentuh US$15,1 miliar.
Ke depan, pemerintah akan terus mencermati perkembangan yang ada. Penurunan ekspor dan impor pada akhirnya akan berpengaruh pada perekonomian ekonomi. Salah satunya menghambat pertumbuhan industri manufaktur. Untuk itu, pemerintah akan menjaga sumber pertumbuhan ekonomi lain seperti investasi maupun konsumsi.
Selain itu, seperti dilansir CNNIndonesia, lanjut Sri Mulyani, tingginya impor juga disebabkan oleh sikap antisipasi pelaku usaha mengingat bulan ini sudah memasuki periode Ramadan dan Lebaran yang akan diikuti dengan libur panjang.
Jika dilihat menurut penggunaannya, impor barang konsumsi pada April tercatat meningkat 24,12 persen secara bulanan menjadi US$1,42 miliar. Kemudian impor bahan baku/penolong tumbuh 12,09 persen menjadi US$11,33 miliar, dan barang modal 6,78 persen menjadi US$2,35 miliar.
Sebagai catatan, pada Maret lalu, laju pertumbuhan impor barang konsumsi hanya 13,49 persen, bahan baku/penolong 12,34 persen, dan barang modal 0,47 persen.
“Mungkin mereka (pelaku usaha) melakukan kalkulasi nanti sesudah lebaran akan ada libur yang panjang lagi. Jadi, semuanya ditumpukkan di April,” ujarnya.
Di saat yang sama, impor migas pada April juga melonjak 46,99 persen menjadi US$2,24 miliar. Hal itu tak lepas dari peningkatan kebutuhan bahan bakar yang tidak bisa dipenuhi sepenuhnya oleh produksi minyak dalam negeri.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), produksi siap jual migas (lifting) migas tercatat 1,92 juta setara barel minyak per hari (BOEPD) atau di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).yakni 2,02 juta BOEPD.
“Kita tidak bisa meminta supaya volume (impor migas) turun karena dengan pertumbuhan (ekonomi) di atas 5 persen, tidak akan mungkin permintaan terhadap energi turun.Pasti akan meningkat,” jelasnya.
Sementara itu, ekspor April 2019 melambat akibat perlambatan perekonomian dunia. Tercatat, ekspor April 2019 hanya US$12,6 miliar atau merosot 10,8 persen dibandingkan Maret. Secara tahunan penurunan ekspor mencapai 13,1 persen.
“Kalau transaksi berjalan atau neraca dagang kita mengalami defisit, di dalam situasi sekarang yang gonjang ganjing ini, akan menimbulkan risiko yang lebih tinggi terhadap ekonomi kita,” ujarnya.