Literasi Digital Dalam Lingkungan Keluarga
Untuk mengubah budaya suatu bangsa kuncinya adalah pada keluarga.
Oleh: Riza Vahlevi, S.pd
Guru Kelas SDIT Al Furqon Palembang
Minat membaca dan menulis Indonesia sangatlah rendah ini bisa kita ketahui dari data UNESCO tahun 2016 yang menyebutkan posisi budaya membaca di Indonesia adalah 0.001% artinya dari seribu orang, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca.
Sedangkan berdasarkan riset yang bertajuk Most Littered Nation In the World Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, dari total 61 negara, Indonesia berada di peringkat 60 dengan tingkat literasi rendah.
Peringkat ke 59 diisi oleh negara Thailand dan peringkat terakhir diisi oleh negara Botswana. Pada riset tersebut Finlandia menduduki peringkat pertama dengan tingkat literasi yang tinggi, hampir mencapai 100%.
Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. (Kompas, 2016)
Melihat data di atas aktivis dan penggiat literasi di Indonesia sekarang sadar pentingnya untuk mengampanyekan gerakan literasi di segala lini.
Terutama di bidang pendidikan baik di sekolah dan di keluarga. Khususnya keluarga yang menjadi soko guru bangsa, keluarga sebagai wadah utama dan pertama dalam membina anak-anak.
Ada beberapa hal yang menyebabkan gerakan literasi harus dilakukan dari rumah karena budaya masyarakat Indonesia lebih dominan budaya berbicara dan mendengarkan.
Ini ditandai dengan lebih banyaknya anak dari usia dini yang telah ditemani televisi dan sedikit sekali keluarga yang menyediakan ruang baca buat keluarganya. Untuk mengubah budaya suatu bangsa kuncinya adalah pada keluarga.
Keluarga, dalam terminologi sosial menurut pendapat Robert MZ. Lawang, dipahami sebagai kelompok orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, darah atau adopsi; yang membentuk satu rumah tangga; yang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan melalui peran-perannya sendiri sebagai anggota keluarga; dan yang mempertahankan kebudayaan masyarakat yang berlaku umum, atau bahkan menciptakan kebudayaan sendiri.
Setelah membaca kriteria di atas dapat kita simpulkan salah satu tujuan keluarga adalah mempertahankan kebudayaan masyarakat yang berlaku umum atau bahkan menciptakan kebudayaan sendiri. Termasuk budaya literasi di lingkungan keluarga.
Budaya literasi di Indonesia saat ini yang berada di peringkat ke 60 diperparah dengan dengan peringkat ketiga kasus pornografi versi KPAI yang terjadi di Indonesia (Kompas, 2019).
Keluarga adalah benteng pertama dalam segala hal, terutama dalam budaya literasi Indonesia yang rendah dan kasus pornografi yang merebak di Indonesia.
Literasi digital dalam keluarga adalah salah satu penyelesaian terhadap budaya literasi Indonesia yang rendah dan kasus pornografi yang merebak di Indonesia.
Sebagaimana salah satu fungsi keluarga ada lah mengedukasi hal ini sejalan dengan pendapat William J. Goode ada tiga fungsi keluarga, yaitu fungsi reproduktif, ekonomi dan edukatif.
Sedangkan William Ogburn, selain fungsi edukatif dan ekonomi, menambahkan dengan fungsi perlindungan, rekreasi, agama dan status pada individu.
Keluarga merupakan pintu awal yang bisa diefektifkan untuk mengedukasi anak dalam hal literasi, khususnya literasi digital.
Literasi digital menurut Iin Hermiyanto adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu yang secara menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.
Di dalam keluarga anak bisa diedukasi untuk menggunakan digital untuk kegitan literasi, apa lagi hampir semua anggota keluarga memilki ponsel pintar.
Ibaratnya gerakan literasi digital adalah kegiatan mengarahkan dan mengontrol anak dalam penggunaan ponsel pintar yang merupakan gerbang akses pornografi.
Daripada pisau digunakan untuk melukai kenapa tidak kita gunakan untuk memotong bahan memasak. Hampir semua anak memiliki akun instagram, twitter dan facebook.
Di semua aplikasi tadi semua orang bisa menuliskan sesuatu sesuai dengan apa yang ingin mereka inginkan.
Tugas orangtua adalah mengarahkan anak untuk mampu mengintegrasikan, menganalisa dan mengevalusi dan mengelola semua informasi semua informasi yang ada di dunia untuk dituangkan dalam bentuk tulisan digital.
Jadi anak bukan hanya sebagai penikmat aplikasi tetapi juga bisa menciptakan, mengomunikasikan, dan memberdayakan semua potensi yang di sekitar anak.
Ini bisa kita mulai dengan kata-kata mutiara atau motivasi dari anak. Lalu kita tingkatkan lagi dengan komentar anak tentang sesuatu yang sedang terjadi saat ini dalam beberapa kalimat.
Lalu kita tingkatkan lagi menjadi paragraf dan beberapa paragraf. Kemudian menjadi halaman dan beberapa halaman. Kemudian mendokumentasikan tulisan digital tersebut kedalam dalam bentuk buku.
Dari kebiasaan literasi digital yang disukai anak ini, selain menumbuh kembangkan kebudayaan membaca dan menulis anak akan membaik maka tanpa kita sadari kedekatan anak dengan orang tua serta keluarga pun akan terjalin dengan baik.
Dan kita dapat mencegah kemungkinan anak dari terpapar bahaya pornografi konten negatif lainnya.(*)