Bank Dunia: Kerugian Indonesia Dampak Karhutla 2019 Capai Rp72,95 Triliun
BritaBrita.com,JAKARTA-Bank Dunia (World Bank) mengungkapkan total kerugian Indonesia dampak kebakaran hutan dan lahan sepanjang 2019 mencapai US$5,2 miliar atau setara Rp72,95 Triliun (kurs Rp 14.000). Angka ini setara dengan 0,5% dari Produk Domestik Bruto Indonesia.
Berdasarkan publikasi World Bank dengan judul Indonesia Economic Quarterly Reports (IEQ) menyebutkan, penghitungan kerugian ekonomi ini berdasarkan kebakaran hutan massif terjadi di delapan provinsi prioritas, yakni, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Riau, Kalaimantan Barat, Jambi, Kalimantan Timur dan Papua.
“Kerusakan dan kerugian ekonomi terjadi di delapan provinsi di sepanjang Juni-Oktober 2019 diperkirakan mencapai US$5,2 miliar atau 0,5% dari GDP Indonesia,” kata Frederico Gil Sander, Lead Economist World Bank Indonesia.
Penghitungan karhutla itu, kurun waktu Januari-September 2019 dengan luasan 620.201 hektar. Luasan ini naik dua kali lipat lebih besar dibandingkan rata-rata kebakaran hutan sepanjang 2016-2018.
Dampak kebakaran dan kabut asap itu, katanya, sampai September 2019, lebih 900.000 orang mengalami gangguan pernapasan. Ada 12 bandar udara nasional berhenti beroperasi. Bukan hanya Indonesia yang alami kerugian dari kebakaran hutan, tetapi negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Juga ada ratusan sekolah di Indonesia, Malaysia dan Singapura, harus menghentikan belajar mengajar karena kebakaran hutan.
Karhutla juga berpengaruh terhadap kondisi perekonomian dalam negeri, yakni, terhadap produksi dari komoditas seperti tanaman hutan tahunan dan kayu yang memerlukan setidaknya dua sampai lima tahun untuk bisa panen.
Laporan ini memperkirakan penurunan 0,09% dan 0,05% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia masing-masing tahun 2019 dan 2020 dampak kebakaran hutan.
“Tidak seperti kebakaran di hutan Amerika Utara, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah perbuatan manusia dan jadi permasalahan kronis,” sebut laporan itu.
Dalam laporan ini juga menyebutkan kebakaran hutan dan kabut asap secara berulang meningkatkan persepsi global terhadap produk minyak sawit asal Indonesia. Kondisi ini terlihat dari permintaan dari negara-negara Eropa merosot dan rencana Uni Eropa tak lagi masukkan bahan bakar alami berbasis minyak sawit dalam kategori energi bersih terbarukan mulai 2030.
Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ditanya soal ini mengatakan, belum bisa merespon hal ini. ”Belum bisa karena banyak yang nanganin,” katanya.
Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengatakan, tak memiliki kapasitas dalam menilai ini. ”Tapi itu rujukan yang bisa diterima. Artinya, itu kan pernah disampaikan oleh sejumlah petinggi pemerintah dan para pejabat,” katanya seperti dilansir Mongabay. Doni sebutkan, pada 2015 World Bank juga rilis kerugian dari karhutla.
Dia bilang, Presiden Joko Widodo juga sudah menyebutkan, kalau karhutla menilmbulkan kerugian dari berbagai aspek baik kesehatan warga, ekonomi, pendidikan, keamanan dan lain-lain. ”Ini sangat merugikan, kepentingan nasional akan terganggu [dengan ada karhutla].”
Menurut Doni, kunci menangani masalah ini dengan pencegahan. Karhutla akan terus berlangsung kalau berbagai pihak kurang memberikan perhatian. Persoalan karhutla ini, katanya, tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah, juga kepedulian banyak pihak. ”Ini masalah kompleks, kalau sebenarnya semua mau memenuhi regulasi, aturan, meski kebakaran tetap ada tapi tidak meluas seperti ini.”
Selama ini, katanya, gambut telah ‘diperkosa’ oleh manusia dan manusia telah melanggar hak asasi gambut. ”Dengan gambut dikeringkan berarti telah terjadi pemaksaan.” Untuk itu, dia menekankan soal mengembalikan kodrat gambut, yakni, basah.
Ada sekitar 80% lahan bekas terbakar menjadi perkebunan. ”Yang terbakar itu banyak lahan tak bertuan, grey area.”
Bahan gugatan
Isna Fatimah, Kepala Divisi Tata Kelola dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, pemerintah bisa menggunakan data itu dan memasukkan dalam materi gugatan kepada perusahaan. “Mereka bisa menggunakan pertimbangan aspek-aspek di luar dari kerusakan dan pemulihan lingkungan,” katanya.
Dia bilang, ada biaya-biaya dan potensi biaya oleh negara untuk menutupi dampak dari asap. Pemerintah, katanya, perlu mengkaji mekanisme biaya dampak karhutla yang bisa minta penggantian, misal, melalui gugatan atau lain-lain.
Selain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah secara umum juga bisa mempertimbangkan membuat gugatan.
Marsya Mutmainah Handayani, peneliti ICEL mengatakan, selama ini gugatan kebakaran hutan dan gambut itu hanya mempertimbangkan kerusakan lingkungan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor 7/2014, antara lain kerugian karena dilampaui baku mutu lingkungan hidup sebagai akibat tidak dilaksanakan seluruh atau sebagian kewajiban pengolaha air limbah, emisi, dan/atau pengolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Juga kerugian untuk penggantian biaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup, kerugian mengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan serta pemulihan lingkungan maupun kerugian ekosistem.
”Selain itu penanggulangan masih kurang dielaborasi.”
Dia contohkan, kalau terjadi kebakaran lahan di konsesi, kemudian helikopter yang punya pemerintah melakukan pemadaman. Seharusnya, kata Marsya ada biaya ganti rugi dari perusahaan karena ada dana pemerintah keluar dari kelalaian perusahaan. “Seharusnya itu juga bisa masuk dalam gugatan,” katanya.
Selain itu, Indonesia juga sulit melepas emisis karbon yang lepas meski ilmu pengetahuan sudah berkembang. ”Dengan penghitungan semua itu, angka gugatan kemungkinan meningkat.”