BritaBrita.com,Palembang-Kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang yang segera menerapkan pajak 10 persen bagi pelaku kuliner dinilai tidak manusiawi. Lantaran aturan itu, Forum Komunikasi Pelaku Kuliner Bersatu (FK-PKBP) merasa dianggap seperti ayam potong yang siap dipotong kapanpun.
Ratusan orang pelaku kuliner itu menggeruduk Kantor Wali Kota Palembang, Senin (2/3/2020), melakukan aksi demonstrasi. Aksi tersebut merespon kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang dalam menerapkan Perda Nomor 02/2018 terkait dengan pajak restoran.
Para pelaku usaha kuliner ini mengaku keberatan atas kebijakan yang diterapkan Pemkot Palembang. Dimana menetapkan ketentuan penarikan pajak 10 persen dari setiap konsep penjualan yang minimal Rp 3 juta perbulan atau Rp 100.000 perhari.
Selain itu pemerintah Kota Palembang juga memperlakukan pemasangan tapping box atau e-tax kepada setiap tempat usaha restoran dan rumah makan sebagai alat kontrol dan sekaligus pengambilan pajak 10 persen dari setiap pembayaran dari konsumen.
Koordinator Aksi, Bima Sakti mengatakan, para pelaku usaha mengaku keberatan dengan kebijakan tersebut. Mereka tidak ingin menjadi seperti ayam potong yang nasibnya ditentukan oleh pedagang yang bisa dipotong kapanpun.
“Itu perandaian kami, jangan jadikan kami seperti ayam potong pak Wali Kota, yang siap dipotong kapan saja, kami minta diperlakukan secara manusiawi,” katanya.
Pelaku kuliner yang tergabung dalam Forum Komunikasi ini mengaku keberatan dan kebijakan Pemkot Palembang, Perda Kota Palembang tersebut mendefinisikan restoran sebagai usaha kuliner secara umum seperti warung makan, warung tenda dan penjajah makanan dengan sepeda dan motor pun dapat dikategorikan sebagai restoran.
Ketentuan 10 persen merupakan angka yang terlalu tinggi jika diambil dari omset. sebab omset tidak dapat dijadikan patokan kelayakan bagi usaha yang mampu membayar pajak. Pada usaha kuliner yang belum mendapatkan keuntungan jika omsetnya belum lebih Rp 2.000.000.
“Pihak Pemkot berdalih akan menetapkan pajak kepada konsumen itu pun tidak tepat. Sebab konsumen para pelaku usaha kuliner yang tergabung dalam forum ini merupakan konsumen dari segmen menengah ke bawah,” katanya.
Ia mengatakan, berdasarkan pengalaman beberapa restoran dan rumah makan di Palembang pemasangan tapping box sebesar 30 persen dalam jangka waktu 3 sampai 5 hari setelah pemasangan. Bahkan, sejak lima tahun terakhir ini telah terjadi kelemahan kondisi perekonomian rata-rata pedagang mengaku ada penurunan omzet penjualan sekitar 30 persen.
Setelah pihaknya menyatakan sikap penolakan terhadap kebijakan pajak restoran dari Pemkot ini, dalam waktu lebih dari 7 bulan patut disyukuri ada upaya revisi Perda Nomor 2/2018 yang saat ini sedang diproses terbanyak DPRD kota Palembang.
“Namun dari pengamatan kami, pihak Pemkot Palembang seperti tidak serius dalam mengkaji persoalan pajak restoran dan terkesan menyampaikan usulan dari forum kami sehingga menimbulkan kekhawatiran akan adanya penetapan pajak usaha kuliner yang tidak berkeadilan bagi pelaku usaha kuliner,” katanya.
Sehingga FK-PKB mengusulkan, sefinisi dan kategori usaha kuliner yang terdiri dari tiga jenis yaitu restoran, rumah makan, dan warung makan. Penetapan pajak 10 persen bagi pelaku usaha kategori restoran, 0,5 persen bagi rumah makan sesuai PP No 23 tahun 2018 yang berlaku sejak 1 Juli 2018, bahwa pajak UMKM ditetapkan 0,5 persen dari pendapatan kotor/jumlah omset, dan 0 persen atau sesuai kemampuan bagi warung makan warung tenda dan usaha kuliner sejenis ini.
Sementara itu Sekretaris Daerah Kota Palembang, Ratu Dewa mengatakan, keluh kesah para pedagang akan menjadi perhatiannya. Ia memastikan bahwa aturan yang diterapkan kepada pelaku kuliner tidak akan mematikan usaha para pedagang ini.
“Nantinya akan ada kalisifikasi usaha disesuaikan dengan pajak yang dikenakan, tidak akan dipukul rata,” katanya.
Reporter : Kamayel Ar-Razi