Lagi-lagi terpaut kisah dari keprihatinan sebagai sesama manusia. Kita tersipu dari sikap ketamakan dalam mementingkan kebutuhan pribadi dan mengesampingkan orang lain, sekalipun mereka lebih membutuhkannya. Pandemi covid-19 kembali menorehkan sikap manusiawi yang seakan hanya dia sendiri yang terkena dampak dan patut diperhatikan serta dilayani. Segala nikmat yang telah disediakan seakan selalu tidak pernah ada cukupnya, meskipun dengan merenggut nikmat orang lain. Terkisah dari bantuan pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai upaya menanggulangi dampak ekonomi dari paparan virus covid-19 yang telah menjamah hampir seluruh wilayah tanah air dari Sabang sampai Meraueke.
Pemerintah telah mengolontorkan anggaran yang cukup fantastis dalam penangganan dampak yang telah ditimbulkan. Setidaknya anggaran tersebut dialokasikan dengan istilah Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan bantuan pemerintah lainya. Pemerintah Kabupaten Empat Lawang sendiri menerapkan strategi pengecat-an rumah warga agar tidak adanya ketimpangan pembagian bantuan tersebut. Melalui Surat Edaran nomor: 460/584/DINSOS/IV/2020 menindaklanjuti hasil rapat Tim Gugus Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 di ruang rapat Bupati Kabupaten Empat Lawang tanggal 27 April 2020 menyampaikan warna cat: Hjiau (Bantuan PKH, Program Sembako, dan Perluasan Sembako), Merah (BLT Pusat), Orange (BLT Dana Desa), dan Biru (Misbar).
Implemetasi dari bantuan program pemerintah daerah Empat Lawang berupa sembako dengan Satu paket sembako seharusnya berisi; 10 kg beras, 1 kg gula pasir, 1 kg minyak goreng, dan 1 kg tepung. Namun fakta yang mencenggangkan dari beberapa desa dan kelurahan dalam pengalokasian bantuan sembako tersebut, beberapa warga hanya menerima 2,5 kg beras, 0,25 kg gula pasir, 0,25 kg minyak goreng, 0,25 kg tepung. Ada juga yang menerima hanya 2,5 kg beras dan 1 kg tepung saja, dan masih banyak lagi ketimpangan paket sembako dari yang seharusnya.
Ketimpangan paket sembako dari kebijkan bupati dengan apa yang diterima warga sudah sepatutnya dipertanyakan. Jika memang paket sembako tersebut kembali diolah oleh pemangku otoritas setempat maka bagaimana afiliasi mereka terhadap kebijakan Bupati? Atau etikat pemangku otoritas setempat yang mengambil kebijakan dengan mengolah ulang paket bantuan agar semua warga mendapatkan, kerena dipandang sebagai upaya menjaga keamanaan? dirasa kurang tepat jika alibi menjaga keamaan harus menggerus hak orang lain, terlebih jika orang yang bersangkutan tidak menerimanya. Warga yang seharusnya mendapat bantuan memang sudah terkategori layak dengan pertimbangan yang sudah ditetapkan.
Hampir semua masyarakat, khusunya warga Empat Lawang memang telah menuai dampak yang ditimbulkan oleh virus covid-19. Namun dalam hal ini ada skala prioritas yang memang dikualifikasikan sebagai orang yang menerima bantuan tersebut. Ketika ada seorang janda yang paruh baya dengan mengais pendapatan menjadi buruh tani dan penghasilanya terhambat karena pemilik kebun mendapat kerugian dari hasil penjualan hasil kebunnya. Apakah layak dia mendapat bantuan yang sama dengan seseorang yang gagah nan muda sekalipun mereka berprofesi yang sama? Pun dengan rentang usia atau profesi yang lebih jauh lagi seperti anak mudah dengan orang tua, buruh dengan petani, pedangang dengan pegawai swasta, atau bahkan buruh dengan pegawai swasta. Apakah layak dipandang sama rata?
Untuk diketahui bahwa, Pemerintah Kabupaten Empat Lawang Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) telah memilih dan menetapkan kualifikasi atau ketegori warga yang mendapat bantuan berupa sembako tersebut. Warga yang terkategori sebagai penerima bantuan (miskin) tersebut terbilang lebih sedikit ketimbang warga yang tidak mendapat bantuan. Maka dari itu jika pamangku otoritas daerah setempat tidak tegas dan tidak bijak, selamanya warga miskin tersebut diitimidasi dan dirampas haknya oleh ketamkan warga yang dominan. Adil yang dimaknai bukan sama rata atau pukul rata, akan tetapi sesuai semestinya dan proporsinya.
Entah dapat inspirasi dan motivasi dari mana sehingga adil yang dimaknai warga adalah sama rata, sama rasa, dan sama-sama mendapatkan. Terlepas dari perkara tersebut, bahwa ada kulaifikasi yang telah ditetapkan pemerintah dan sepatutnya diindahkan. Perkaranya bermula dari sini. Ketika hak yang telah dimaklumatkan oleh bupati dicercah oleh sikap egoistik dan ketamakan manusia maka akan ada orang lain yang digerus haknya.
Pemerintah telah mengucurkan bantuan yang sedemikian rupa agar dapat menanggulangi dampak yang telah ditimbulkan dari penyebaran covid-19. Ketika bantuan pemerintah daerah (sembako) dibagi rata oleh otoritas setempat, bagaimana dengan bantuan pemerintah pusat seperti BLT, dan PKH Pusat? Maka kita akan mendapati kesenjangan yang semakin signifikan ketika bantuan tersebut juga dibagi sama rata oleh otoritas setempat. Bahkan jauh ebih sadis jika bantuan tersebut tidak dibagi dengan warga yang lain karena hak penerima sembako telah dibagi untuk yang lain. Sedangkan penerima BLT dan PKH tidak diberlakukan sama. Atau sembako yang telah dimodifikasi tersebut hanya dibagikan untuk warga yang tidak mendapat bantuan BLT dan PKH? Maka perlu adanya penjelasan yang tepat bagi pemangku otoritas setempat menyoal fenomena tersebut! Karena pada dasarnya bupati telah menegaskan bahwa tidak ada warga yang boleh mendapatkan dua bantuan sekaligus dari setiap bantuan yang telah digelontorkan beserta dengan kualifikasinya. Namun fakta lapangan mengatakan demikian dan dirasa sangat perlu klarifikasi otoritas setempat agar tidak adanya ketimpangan dan stigma yang ditimbulkan masyarakat.