NASIONAL

Berselang 3 Hari Dari Mendiang Sang Istri, Cendekiawan Muslim- Dr Jalaluddin pun Berpulang

BritaBrita.com— Dr Jalaluddin Rakhmat dikabarkan telah tiada. Ia meninggal dunia hari ini, Senin (15/2/2021), hanya berselang 3 hari dari kepergiang sang istri Almarhumah Euis Kartini, yang wafat pada 11 Februari 2021.

Kabar duka tersebut disampaikan antar alain oleh akun Twitter @na_dirs. “Selamat jalan Kang Jalaluddin Rakhmat. Lahul Fatihah.”

Akun Twitter @anditoaja juga mengabarkan tentang meninggalnya Jalaluddin Rakhmat.

“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah DR. KH. Jalaluddin Rakhmat pada hari ini, Senin 15 Februari 2021, pukul 15:45 WIB di ICU RS Santosa Internasional Bandung. Mohon berkenan membacakan Surat Al-Fatihah, doa, dan shalawat untuk beliau,” tulis Akun Twitter @anditoaja yang dikutip Moeslimchoice.com dari ayojakarta.com.

Jalaluddin Rakhmat yang karib disapa Kang Jalal pernah menjadi Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Kang Jalal lahir di Bandung 29 Agustus 1949. Meski dipandang sebagai cendikiawan muslim, namun pendidikan formal awal almarhum justru di jalur nonagama.

Almarhum memperoleh gelar master komunikasi dari Iowa State University dan doktor ilmu politik dari Australian National University. Kemudian beliau aktif mengajar di Universitas Padjajaran. Gelar doktor beliau didapat dari UIN Alaudin Makassar. Ia berasal dari keluarga yang dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Kang Jalal dikenal sebagai salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia, bersama Gus Dur (KH Abdurahman Wahid) dan Cak Nur almarhum (Prof.Dr. Nurcholis Madjid).

Ibunya adalah seorang aktivis Islam di desanya. Ayahnya adalah seorang kiai dan sekaligus lurah desa. Karena kemelut politik Islam pada waktu itu, ayahnya terpaksa meninggalkan Jalal kecil yang masih berusia dua tahun. Ia berpisah dengan ayahnya puluhan tahun sehingga ia hampir tidak mempunyai ikatan emosional dengannya.

Menurut teori ateisme, mestinya Jalal menjadi ateis; tetapi ibunya mengirimkan Jalal ke Madrasah sore hari, membimbingnya membaca kitab kuning malam hari, setelah mengantarkannya ke sekolah dasar pagi hari. Jalal mendapatkan pendidikan agama hanya sampai akhir sekolah dasar. Dalam suatu wawancara, ia menuturkan:

“Saya dilahirkan dalam keluarga Nahdliyyin (orang-orang NU). Kakek saya punya pesantren di puncak bukit Cicalengka. Ayah saya pernah ikut serta dalam perjuangan gerakan keagamaan untuk menegakkan syariat Islam. Begitu bersemangatnya, beliau sampai meninggalkan saya pada waktu kecil untuk bergabung bersama para pecinta syariat. Saya lalu berangkat ke Kota Bandung untuk belajar di SMP.”

Karena merasa rendah diri Jalal menghabiskan masa remajanya di perpustakaan negeri, peningggalan Belanda. Ia tenggelam dalam buku-buku filsafat, yang memaksanya belajar bahasa Belanda. Di situ ia berkenalan dengan para filosof, dan terutama sekali sangat terpengaruh oleh Spinoza dan Nietzsche.

Ayahnya juga meninggalkan lemari buku yang dipenuhi oleh kitab-kitab berbahasa Arab. Dari buku-buku (kitab) peninggalan ayahnya itu, ia bertemu dengan Ihya Ulum al-Din-nya al Ghazali. Ia begitu terguncang karenanya sehingga seperti (dan mungkin memang) gila. Ia meninggalkan SMA-nya dan berkelana menjelajah ke beberapa pesantren di Jawa Barat.

Pada masa SMA itu pula ia bergabung dengan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan aktif masuk dalam kelompok diskusi yang menyebut dirinya Rijalul Ghad atau pemimpin masa depan. Ini pun tidak berlangsung lama. Ia kembali ke SMA-nya. Karena keinginannya untuk mandiri, ia mencari perguruan tinggi yang sekaligus memberikan kesempatan bekerja kepadanya.

Ia masuk kuliah Fakultas Publisistik, sekarang Fakultas Ilmu Komunikasi, Unpad Bandung. Pada saat yang sama, ia memasuki pendidikan guru SLP Jurusan Bahasa Inggris. Ia terpaksa meninggalkan kuliahnya, ketika ia menikah dengan santrinya di masjid, Euis Kartini. Setelah berjuang menegakkan keluarganya, ia kembali lagi ke almamaternya.

“Saat yang sama, saya juga bergabung dengan Muhammadiyah, dan dididik di Darul Arqam Muhammadiyah dan pusat pengkaderan Muhammadiyah. Dari latar belakang itu saya sempat kembali ke kampung untuk memberantas bidáh, khurafat dan takhayul. Tapi yang saya berantas adalah perbedaan fiqih antara Muhammadiyah dan fiqih NU orang kampung saya,” tambah dia (moeslimchoice.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button