Oleh: Desby Niscaya Putri (Mahasiswi UIN Raden Fatah)
SEPERTI yang kita ketahui, dalam hidup tentulah tidak pernah terlepas dari hal baik maupun buruk. Kadang, kita merasa senang dan bangga bukan main ketika berada di atas, tak jarang terpuruk dan tak pernah putus doa ketika berada di titik terendah.
Begitulah hidup, menjadikan sebuah pengalaman sekaligus pembelajaran. Berada di titik terendah, bukan berarti menjadi orang yang bawah. Melainkan Allah SWT, tengah berusaha menyadarkan kita semua untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Berbicara mengenai titik terendah, erat kaitannya dengan kata “musibah”, menurut Shiddiq Al-Jawi, para ulama mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang dibenci yang terjadi pada manusia. Kendati demikian, pernahkah kita memaknai musibah yang menimpa kita?, memaknai musibah sebagai wujud nikmat yang diberikan Maha Pencipta?, menjadikan musibah sebagai ladang untuk menambah keimanan kita?.
Sungguh, musibah merupakan Qadarullah yang paling bijaksana.
“Tidak suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” (Q.S. At Taghabun:11).
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’ anhuma, Ketika menafsirkan firman Allah (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah, maka Allah akan menunjuki hatinya,”. Maksudnya, Allah akan menunjukkan hatinya untuk senantiasa merasa yakin, sehingga dia menyadari bahwa apa yang sudah ditakdirkan menimpanya, pasti akan terjadi pada dirinya, begitu pula yang ditakdirkan tidak menimpanya, pasti tidak akan pernah terjadi pada dirinya.
Berangkat dari penjelasan di atas, pernahkah kita mencoba mencari tahu bagaimana dan mengapa musibah itu bisa menimpa diri kita?. Beruntungnya lagi-lagi, kita diciptakan oleh Allah SWT yang maha sempurna, yang menjabarkan jawaban diatas pertanyaan-pertanyaan yang pernah kita pikirkan.
“Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu),” (Q.S Asy-Syura: 30).
Allah Maha Pemaaf, dari suatu hal yang biasa identik dengan duka ini, justru Allah malah menjadikan musibah sebagai bentuk pengampun dosa atas kekhilafan kita. Dari penjelasan diatas, sudahkah kita memaknai sisi lain dari musibah?, yang juga turut memberi kenikmatan bagi kita manusia, menjadi sarana penghilang dosa, sekaligus menjadi ladang pahala bagi kita. Karena, ketika kita dirundung musibah, nama siapa lagi yang bisa disebut untuk meminta pertolongan, selain Allah SWT.
Lalu bagaimana sikap yang seharusnya bagi kita umatnya, untuk tegar dalam menghadapi musibah yang menimpa?
Tentunya kita harus ikhlas dalam menghadapi cobaan, dibarengi dengan keyakinan, bahwa semua yang baik maupun buruk dalam diri kita merupakan takdir dari Allah SWT. Setelah hati kita mulai merasakan ikhlas, barulah kita mengajak diri untuk lebih sabar, dengan banyak-banyak memohon kuat, dilapangkan dada oleh Allah SWT, agar kita senantiasa tidak mengeluh atas cobaan yang diberikan.
Dari dua hal yang amat penting yang sudah dijelaskan, merenungi serta mencoba mencari jalan keluar, tentu menjadi hal utama agar kita terlepas dan bisa bangkit dari musibah yang menimpa, jangan lupa berdoa dan mengucap syukur ketika kita sudah bisa berangkat dari duka.
Untuk mengakhiri ini, sudah sepatutnya bagi kita umat manusia untuk lebih memaknai atas semua kehendak Allah, menerima dengan juga berusaha memetik hikmah, yang kemudian berbuah manis, ketika kita yang bisa kuat karena Allah, dan musibah yang dibenci menjadi suatu hal yang membuat kita dengan Allah semakin lekat. (*)