Mengenal “ Rumah Perahu “ Masyarakat Pesisir Sungai Musi
Perahu Kajang Mampu Bertahan di Tiga Peradaban
BritaBrita.com— Diyakini memiliki cerita sejarah yang panjang, Perahu Agung atau yang lebih di kenal oleh masyarakat peraiaran Sungai Musi dengan sebutan Perahu Kajang merupakan warisan budaya masa lalu yang seharusnya dapat di pertahankan. Mengingat, moda transportasi sungai tersebut adalah satu-satunya bukti sejarah, akan keperkasaan armada laut yang kita punya sejak masa kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang Darussalam hingga pada masa kemerdekaan Republik Indonesia (RI) tahun 1945 hingga tahun 1980-an.
Menurut bahasa tutur yang berkembang di tengah masyarakat Samatera Selatan (Sumsel), Pertahu Kajang banyak di jumpai di kawasan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dengan Kayuagung sebagai pusat kotanya. Perahu Kajang di yakini oleh sebagian masyarakat tidak hanya sebagai moda transportasi melainkan juga sebagai rumah tinggal bagi sebagian masyarakat yang bertahan hidup di atas perairan Sungai Musi.
Ibrahim pelaku kisah dan salah saksi perjalanan perahu termasyur kala itu yang mampu membentang sejarah 3 peradaban masa lalu. Dimana dulu orang tua, dan garis keturunannya merupakan salah satu dari sekian banyak masyarakat Kayuagung yang menjadikan perahu kajang sebagai rumah tinggal selama bertahun-tahun.
“ Pesan dari nenek kami dulu, hanya 3 benda yang boleh di bawah ketika hendak melaut (bahasa) seperti itu. Yang pertama, kami di wajibkan membawa, minyak kelapa, beras (secukupnya) dan batu (sebelum adanya korek). Dengan alat-alat sederhana itu, mereka orang –orang tua dulu mampu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun bertahan hidup dalam perahu Kajang,” kisahnya.
Meski kini, dirinya tidak lagi menjadi generasi yang bertahan dengan kehidupan nelayan sebagai pencari ikan dengan perahu kajang. Dirinya berharap agar, perahu kajang ini dapat terus dilestarikan, minimal setidaknya di ketahui oleh generasi di zaman sekarang.
“ Ingat, perahu kajang ini adalah bukti kebesaran nenek moyang kita, bahkan Ia mampu melewati fase-fase peradaban, mulai dari kerajaan Sriwijaya, kesultanan Palembang hingga masa-masa perjuangan merebut kemerdekaan bangsa ini. Yang perlu kita lestarikan adalah perwujudan perahu kajang ini, bahwa hadirnya perahu ini juga ikut andil dalam mengisi kehidupan masyarakat kala itu,” imbuhnya.
Dilain sisi, kata Ibrahim Perahu Kajang juga memiliki filosofi dan keyakinan bagi sebagaian masyarakatnya. Baik dari segi bentuk hingga ornament-ornamen pelengkap perahu. Mulai dari atap hingga dayung kemudi.
Untuk diketahui, Perahu Kajang menggunakan atap dari nipah yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian depan atap yang disorong (kajang tarik), bagian tengah adalah atap yang tetap (kajang tetap) dan atap bagian belakang (tunjang karang). Bahan yang digunakan untuk pembuatan perahu ini adalah kayu jenis kayu rengas, yang sudah tidak ditemukan lagi di wilayah Kayuagung. Panjang perahu sekitar delapan meter dan lebar perahu dua meter. Buritan di bagian depan perahu terdapat tonjolan seperti kepala yang disebut selungku, merupakan ciri khas perahu kajang Kayuagung.
Keberadaan atap (kajang) dari daun nipah inilah yang menjadi cikal namanya. Layaknya sebuah rumah tinggal, perahu kajang ini memiliki ruang tengah tempat anggota keluarga beristirahat. Pada bagian belakang terdapat dapur dan kamar mandi. Barang-barang muatan serta ruang kemudi berada di bagian depan perahu. Tata ruang perahu terdiri dari bagian depan, bagian tengah dan bagian belakang. Bagian depan merupakan ruang untuk menyimpan barang-barang komoditi yang dijual, seperti barang tembikar dan untuk kemudi. Bagian tengah adalah ruang keluarga untuk tempat tidur. Bagian belakang adalah kamar mandi dan dapur.
Diperkirakan sejak masa awal atau proto Sriwijaya, perahu-perahu kajang melaju di Sungai Komering, masuk ke Sungai Musi, dan lepas ke Selat Bangka, Laut Cina Selatan, hingga ke Laut Jawa. Perahu-perahu kajang ini selain membawa hasil bumi, juga membawa gerabah, seperti periuk yang terbuat dari tanah liat. Sebaran perahu kajang tersebut berdasarkan penemuan arkeologi, ditemukan di beberapa daerah di Malaysia, Vietnam, Jawa, dan Kalimantan. Saat itu, perahu kajang belum menggunakan paku, tapi pasak kayu yang diikat dengan tali dari sabut kelapa.
Bahkan, saat Jakarta didirikan dan dibangun Belanda, ada pusat penjualan periuk dari daerah Kayuagung, yang kemudian daerah tersebut dinamai Tanjung Priok. Diceritakan hingga masa awal Indonesia, masih ada pedagang dari Kabupaten OKI berdagang ke Singapura. Transportasi mereka mengandalkan perahu kajang. Mereka membawa hasil bumi seperti getah damar, gambir, dan tembikar.
Perahu kajang memiliki dayung dan kemudi yang terbuat dari kayu. Panjang dayung sekitar tiga meter, sedangkan panjang kemudi sekitar dua meter. Dayung dibuat dari kayu yang lebih ringan, sedangkan kemudi dari kayu berat yang bagian tepinya diberi lempengan logam. Kemudi ditempatkan di bagian belakang, sedangkan dayung digunakan di bagian depan.
Ciri-ciri lain juga menunjukkan bahwa perahu ini merupakan tipe tradisi Asia Tenggara yaitu adanya lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan, merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique).
Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arrenga pinnata). Tali ijuk dimasukan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang di temukan di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Selain sebagai tempat tinggal, Perahu Kajang juga menjadi sumber mata pencarian masyarakat. Mulai dari berburu, meramu hingga menjadi tempat perdagangan. Ibrahim mengatakan jika, sejak tahun 1980-an jenis perahu itu sudah tidak digunakan lagi. Walaupun ada tidaklah begitu banyak. Hal ini, seiring dengan merosotnya pemasaran tembikar Kayuagung ke daerah-daerah lain dan Kemajuan moda transportasi darat dan sarana berupa jalan memberi pengaruh nyata. Sungai (dan transportasi air) kehilangan keutamaannya. Biasanya perahu kajang digunakan untuk mengangkut barang-barang tembikar Kayuagung dan dipasarkan ke daerah-daerah lain. Pemasaran dengan perahu tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, berbulan-bulan bahkan tahun.