Oleh : Aminuddin (Pemerhati Sosial)
HAL Ikhwal ini berawal dari Youtuber dan penulis Gita Savitri. Dia menjadi sorotan setelah memutuskan tidak mau punya anak. Gita bersama suaminya, Paul Andre, sepakat tidak memiliki anak atau childfree.
Keputusan Gita dan Paul memancing kritik warganet. Namun, pasangan yang menikah pada 2018 ini kukuh pada keputusannya. Bahkan, Gita menepis kemungkinan hamil karena ‘kecelakaan’.
Respons heran atau kontra atas keputusan ini adalah hal wajar. Psikolog Sosial dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Tri Rejeki Andayani mengungkapkan hal ini ini tidak terlepas dari perspektif budaya kolektif.
Kultur masyarakat menuntut atau mengharapkan seseorang yang telah memasuki usia dewasa untuk menikah dan setelah menikah akan ditanyakan tentang kehadiran anak.
“Sebab, orang tua dari pasangan suami istri itu tentu memiliki harapan pada pernikahan anak-anaknya. Salah satunya harapan untuk memiliki cucu yang meneruskan keturunannya,” ucap Tri mengutip siaran pers UNS.
Tentu ada beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut antara lain masalah personal, finansial, latar belakang keluarga, kekhawatiran akan tumbuh kembang anak, isu atau permasalahan lingkungan, hingga alasan terkait emosional atau maternal ‘instinct’.
1. Lingkungan yang tak mendukung
Salah satu alasan menarik orang tua memilih childfree yakni berkaitan dengan isu atau permasalahan lingkungan. Populasi penduduk bumi yang semakin meningkat, tetapi tidak sejalan dengan ‘kesehatan’ bumi dan ketersediaan pangan. Childfree akhirnya dipilih sebagai langkah yang dapat ditempuh.
Tri pun menyinggung perspektif teori perkembangan Erikson yang menyatakan setiap orang akan memasuki tahap stagnan versus generativitas. Orang yang stagnan cenderung sulit menemukan cara berkontribusi pada kehidupan.
Sementara itu, generativitas akan mendorong seseorang peduli pada orang lain. Kemudian, selalu menciptakan dan mencapai hal-hal yang membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, termasuk melalui pernikahan.
Akan tetapi, pada perkembangannya, generativitas ini tidak hanya membatasi pada domain pernikahan dan menjadi orang tua. Sehingga orang-orang yang memutuskan hidup lajang atau childfree biasanya akan mengekspresikan generativitasnya melalui berbagai bidang kehidupan.
“Seperti menjadi relawan, aktivitis lingkungan hidup, bekerja secara profesional, atau terlibat dalam kegiatan agama, sosial, maupun politik,” tambah Tri.
2. Tak yakin mampu mengasuh anak
Alasan lain adalah rasa tidak yakin akan kemampuan dalam merawat dan mengasuh anak juga menjadi salah satu kekhawatiran yang sering kali dialami. Oleh karenanya, salah satu pembekalan yang penting diberikan di masa persiapan nikah adalah membangun parenting self efficasy pada keduanya.
“Sehingga calon ayah atau ibu memiliki keyakinan diri terhadap kompetensinya dalam merawat dan memberikan pengasuhan pada anak yang secara positif. Hal ini akan berpengaruh pada perilaku pengasuhannya dan menunjang tumbuh kembang anak secara optimal,” katanya.
Apa Penjelasan Kita?
Menurut Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Mahbub Maafi, ada persoalan khilaf di kalangan ulama.
Dia menjelaskan, ada ulama yang menyatakan bahwa (childfree) hal demikian apabila dila kukan maka pernikahannya sah, tapi sya ratnya batal.
Syarat yang batal itu, kata Kiai Mahbub, terdapat kecacatan dalam keberlangsungan nikah yang lebih baik dihindari.
Adapun ulama lainnya berpendapat bahwa melakukan hal demikian sama saja dikate gorikan nikahnya tidak sah. Alasannya, hal seperti itu dinilai bertentangan dengan inti dari akad nikah.
“Salah satu inti dari pernikahan itu adalah untuk memiliki keturunan. Ini juga pesan Nabi yang memerintahkan untuk menikahi wanita yang subur, artinya apa? Manusia disuruh untuk berketurunan apabila menikah,” kata Kiai Mahbub.
Dia pun menjabarkan, apabila sepasang suami istri telah merencanakan enggan memiliki keturunan padahal secara biologis mampu, maka keduanya telah menabrak syarat inti nikah. Terlebih bagi para Muslimah, hamil dan melahirkan merupakan kodrat yang mutlak yang perlu diemban.
Adapun alasan ekonomi yang menyertai para pelaku childfree dinilai dia tidak bisa dibenarkan baik secara fikih maupun nalar. Jika demikian alasannya, kata Kiai Mahbub, yang bersangkutan sama saja telah meremehkan peran Allah SWT dalam mengatur takdir dan rezeki setiap hamba-Nya.
“Manusia kok semakin ribet ya, seperti tidak percaya rezeki Allah. Ini sama meremehkan Tuhan,” kata dia.
Berbeda
Intinya, childfree dengan alasan ekonomi jelas berbeda dengan mengatur jumlah keturunan atau di Indonesia dikenal dengan nama Keluarga Berencana (KB).
Jika dilihat dari perspektif ekonomi, kata Kiai Mahbub, KB diperbolehkan dengan alasan ekonomi maupun sosial sebab tidak menabrak inti daripada pernikahan dan kodrat manusia.
KiainMahbub juga menekankan bahwa manusia—terlebih umat Islam—diwajibkan untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi dengan cara memiliki keturunan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Tazawwajuu al-waduda fa-inni mukaasyirun bikumul-umam.”
Yang artinya, “Nikahilah perempuan yang pencinta yang dapat memiliki banyak anak, sebab sesungguhnya aku akan berbangga dengan (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat terdahulu.”
Dalil ini dinilai merupakan dorongan keras untuk umat Islam agar memiliki keturunan apabila memutuskan untuk melakukan pernikahan.
Dia juga mengingatkan, siapa pun yang hidup ke dunia sejatinya telah diatur segala rezeki dan takdirnya oleh Allah SWT.
“Jangan takut soal ekonomi, soal baik buruknya keturunan kita, soal apapun yang berkaitan dengan keturunan. Allah Mahakuasa, tidak akan luput satu pun zat di muka bumi dari kuasa Allah SWT,” katanya. (**)