SUMSEL

Kasus Asusila Junaidi “Emergency ” Dunia Pendidikan Kita..!

26 Anak Tercatat Jadi Korban Sodomi dan Pencabulan Pelaku

BritaBrita.com– Karena nila setitik rusak susu sebelenga, itulah sekilas pepatah yang sangat tepat di alamatkan kepada lembaga pendidikan pondok pesantren di Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir (OI) Sumatera Selatan. Karena, ulah seorang oknum guru agama bernama Junaidi (22) warga Jalan Adam Malik Dusun Trimulyo, Kelurahan Marta Jaya, Kecamatan Lubuk Raja, Kabupaten OKU Timur tersebut telah menciderai lembaga pendidikan yang seharusnya bersih dari tindakan yang melanggar norma kepatutan seperti kasus asusila yang kini mesti di pertanggungjawabkan di meja hukum.

Pasca penetapan Junaidi sang predator anak yang kini telah diamankan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Ditreskrimum Polda Sumatera Selatan (Sumsel)  memasuki babak baru. Pasalnya kini, banyak para wali murid ramai-ramai menarik anaknya dari Pondok Pesantren di Kecamatan Pemulutan tersebut.

Diberitakan sebelumnya oleh Sibernas.com, Grup BritaBrita.com– Dalam kasus asusila ini polisi berhasil mengamankan barang bukti beberapa helai baju korban, ponsel milik tersangka, identitas tersangka, dan uang milik tersangka yang digunakan untuk mengiming-imingi para korbannya.

Terungkapnya kasus ini, kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumsel Kombes Pol Hisar Siallagan karena adanya laporan dari salah satu orangtua murid yang bersekolah di lembaga pendidikan di Kabupaten OI.

” Ya benar, tempat yang di duga adalah Ponpes di Kecamatan Pemulutan Kabupaten, Ogan Ilir. Pelaku adalah guru sekaligus pengasuh Ponpes bernama Junaidi. Aksi dilakukan sejak tahun 2020,” katanya seraya menjelaskan jika, hasil penyelidikan Ditreskrimum Polda Sumsel kasus asusila yang dilakukan tersangka Junaidi terhadap santrinya terus bertambah.

“Setelah posko pengaduan di buka ternyata di manfaatkan orang tua korban untuk membuat laporan. Kemarin ada 14 anak didampingi orang tuanya melapoakan bahwa anak mereka juga jadi korban asusila oleh pelaku. Jadi total seluruh korban ada sekitar 26 anak per 16 September 2021,”katanya.

Dari hasil inventarisir, kata Hisar sebagian dari pelaku ada yang di cabuli dan ada yang disodomi langsung oleh pelaku dari 26 anak sebelas diantaranya di sodomi langsung oleh pelaku. Bahkan ada satu korban yang di sodomi pelaku sebanyak 10 kali oleh pelaku.

Sementara itu para orang tua wali murid yang disodomi pelaku selama kurun waktu satu tahun terakhir mengaku sangat resah. Bahkan banyak diantaranya, menarik diri dari lembaga pendidikan berbasis agama tersebut karena dinilai, sudah sangat mengkhawatir bagi perkembangan psikologi buah hatinya tersebab karena menjadi korban rudapaksa.

” Anak saya sudah bersekolah di Ponpes tersebut lebih dari tiga tahun. Meski sang predator bernama Junaidi sudah ditangkap pihak kepolisian, namun kami tetap khawatir jika anaknya tetap melanjutkan pendidikan di ponpes tersebut. Saya takut saja, saya mau ambil anak saya dari ponpes itu. Mau saya pindahkan ke sekolah biasa saja, tidak usah belajar di sini. Kalau soal mengaji mau saya suruh ke ustazah saja,” jelasnya.

Menurutnya, pihak Ponpes harusnya lebih terbuka kepada wali murid, kepada wartawan, harusnya secara jelas memberikan keterangan, jangan terkesan menutupi.

“Ini bukan aib, ini sudah ada tersangka, artinya sudah ada pelaku yang berbuat. Korbannya banyak anak-anak lagi, otaknya di mana?. Coba kalau anak dia yang disodomi, apa reaksinya?. Bagaimana masa depannya?. Harusnya bilang saja kalau memang Junaidi itu pernah mengajar di sini, dan kami tidak tahu kalau pelaku adalah predator dan sudah dipecat, persoalan sudah diserahkan kepada pihak berwajib. Jangan jawabnya ini aib sebagai umat Islam harus menutupi aib sesama muslim. Jangan mengatasnamakan sesama muslim. Kalau salah ya katakan salah saja, jangan terkesan menutupi. Takut sekali kalau hilang murid, padahal pastilah orangtua was-was menyekolahkan anaknya di situ, otomatis menarik anaknya,” tegasnya.

Menyoal hal tersebut, Ustadz Nur Hadi almumni Pondok Pesantren Khasanah Kebajikan Palembang mengatakan, seharusnya yang perlu menjadi tolak ukur adalah pertimbangan moral. Dimana,baik pihak pesantren maupun orang tua murid hendaknya mengutamakan hal itu. Mengapa.. karena bicara soal moral, Insya Allah kedua pihak akan bisa saling mengisi duduk persoalnya. Jadi tidak benar juga, karena ulah oknum sehingga menganggap semua yang ada di dalamnya terlibat dan salah.

Menurutnya, pihak ponpes harus bersikap terbuka atas kasus tersebut. Apalagi kan sudah ada tersangkanya, lalu apa upaya yang harus di kedepankan pihak pesantren hendaknya dapat merangkul dan meredam emosi pihak keluarga.

” Saya rasa cara ini jauh lebih arif, lakukan pendekatan kepada para wali murid. Serahkan kasus tersebut ke ranah hukum toh kasus ini tengah di tangani pihak berwajib. Oleh sebab itu, menterdepankan etika moral  sebagai sesama umat muslim harus menjadi kunci untuk saling menjaga nama baik. Saya rasa ada kesalahpahaman saja, sehingga hal ini harus segera di luruskan dan dicari jalan tengah. Bisa mengundang pihak lain untuk menengahi semisalnya dinas terkait, tokoh masyarakat dan sebagainya, itu saya kira juga bisa jadi alternatif,” saranya.

Kepada BritaBrita.com, Ustadz Nur Hadi berujar agar kedua belah pihak dapat bersama-sama menjaga marwah lembaga pendidikan pesantren, karena jangan sampai hanya ulah seseorang dapat merusak citra lembaga dakwah yang seharusnya menjadi tulang punggung tumbuhnya generasi-generasi akhlakul karimah seperti yang di harapkan.

” Saya rasa, kedepan juga sangat perlu untuk melakukan berbagai tes seleksi penerimaan calon guru baik di Ponpes maupun lembaga pendidikan lainnya. Jangan sampai, kasus seperti ini terulang kembali dan tentunya melukai nilai-nilai sakral dunia pendidikan,” harapnya.

Lebih jauh Ia menegaskan bahwa pelaku penyimpangan seksual, dalam hal ini sodomi dapat dikenakan hukuman mati. Apalagi, jika anak-anak masih dalam usia sekolah yang menjadi korban dalam kejahatan tersebut.

“Sodomi hukumnya haram dan perbuatan keji yang merupakan dosa besar. Pelaku sodomi akan dikenai (hukuman) sampai tingkat hukuman mati. Ini kan bukanlah kasus pertama di Indonesia, dulu pernah juga ada ” tuturnya.

Dijelaskan dia, selain merupakan perbuatan keji yang dilarang oleh agama, kejahatan sodomi saat ini sudah dalam tahap serius. Apalagi, perilaku seks menyimpang itu saat ini sudah masuk dalam wilayah lembaga pendidikan.

“Kita melihat mulai ada masalah sodomi pencabulan di lembaga pendidikan. Ini kita sudah darurat. Hukum Islam menegaskan (sodomi) ini menyimpang. Dan dalam hukum Islam, kegiatan sodomi diberikan ganjaran hukum yang lebih berat daripada zina,” katanya.

Sebelumnya,dikutip dari liputan 6.com,  Komisi Fatwa MUI sudah mengeluarkan fatwa mengenai penyimpangan seksual seperti gay, lesbian, sodomi, dan pencabulan. Mengenai sodomi, fatwa MUI menegaskan, ini merupakan haram dan perbuatan maksiat yang mendatangkan dosa besar dan pelakunya dikenakan had tu (hukuman) zina.

Pelampiasan hasrat seksual dengan sesama jenis selain dengan cara sodomi hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman takzir atau hukuman yang ketentuan pelaksanaannya diserahkan kepada penguasa (pemerintah). Dalam hal ini penguasa yang memiliki kebebasan untuk menetapkan hukuman.

Ketentuan lain yang diatur dalam fatwa ini, yaitu pelampiasan hasrat seksual dengan sesama jenis dan korbannya adalah anak-anak terkena hukuman had dan takzir. Selain itu pelakunya diberikan tambahan hukuman, pemberatan, dan bahkan hingga hukuman mati.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button