Tiga Kali Berganti Warna “ Jembatan Ampera “ Dulu Bernama Soekarno
BritaBrita.com– Banyak orang belum mengetahui, jika nama Ampera yang kita kenal dari jembatan megah asal kota Palembang ini ternyata merupakan singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat. Sebutan Ampera diberikan pada tahun 1966 untuk menggantikan nama Jembatan Bung Karno yang dulu di proklamirkan untuk menghargai aksi nyata Presiden Soekarno dalam memperjuangkan aspirasi rakyat Palembang yang kala itu bermimpi untuk memiliki akses penyebrangan di atas Sungai Musi.
Jembatan yang seyogyanya di peruntukkan untuk menghubungkan seberang ilir dan seberang ulu tersebut mulai dibangun pada April 1962 dan selesai pada tahun 1965. Jembatan Ampera kemudian diresmikan pada 30 September 1965 oleh Letjend. Ahmad Yani sekaligus agenda kenegaraan terakhirnya sebelum beliau menjadi korban G30S/PKI pada 1 Oktober dini hari.
Sepanjang berdirinya jembatan ini, alat penyebrangan darat yang di zamannya adalah akses denyut nadi warga Palembang pernah berganti warna sebanyak 3 kali yakni, berwarna abu –abu diawal berdirinya. Sempat berubah warna menjadi kuning pada tahun 1992 hingga tahun 2001. Terakhir, jembatan berwarna merah ini menjadi icon bagi jembatan yang memiliki panjang sekitar 1.177 meter, lebar 22 meter, dan tinggi 63 meter dari permukaan tanah tersebut hingga kini.
Untuk diketahui, ide membangun jembatan hingga dapat menghubungkan dua daratan di Kota Palembang, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Wali Kota Palembang diduduki oleh Le Cocq de Ville, tahun 1924.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali muncul, DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan lagi pembangunan jembatan saat sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Pada saat itu, anggaran yang dimiliki Kota Palembang yang akan digunakan sebagai modal awal membangun jembatan sekitar Rp 30 ribu. Tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri dari Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Kemudian, Wali Kota Palembang, M. Ali Amin, beserta Wakil Wali Kota, Indra Caya, meminta bantuan Presiden Sukarno.
Sama halnya dengan dana yang digunakan untuk pembangunan Monas di Jakarta, dana pembangunan Jembatan Ampera juga diambil dari hasil perampasan saat perang Jepang senilai 2,5 miliar Yen. Selain itu, ahli-ahli konstruksi dari Jepang juga turut dihadirkan dalam proyek pembangunan Jembatan Ampera ini dengan biaya USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1= Rp 200.00).
Pada permulaannya, anggota tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas supaya tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Anggota tengah jembatan bisa diangkat dengan alat mekanis, dengan menggunakan dua bandul pemberat masing-masing lebih kurang 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya lebih kurang 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.
Pada saat anggota tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Jika anggota tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan cairan sungai.
Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik anggota tengah jembatan ini sudah tidak dimainkan lagi. Alasannya, waktu yang dipergunakan kepada mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya. Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat tersebut. Ke elokan jembatan ini juga tak luput dari tangan-tangan para perusak, sering terjadinya pencurian terhadap bahan-bahan onderdil jembatan juga menjadi salah satu alasan mengapa jembatan tersebut tidak lagi bisa di naik turunkan.