Pengabdian Kaum Alawiyyin di Indonesia
Britabrita.com — PARA peneliti baik dari kalangan muslim maupun penulis non muslim mengakui peranan kaum Alawiyyin cukup besar berperan dalam penyebaran agama Islam di Nusantara.
Orang orang Alawiyyin secara sukarela dan ikhlas meninggalkan tanah air dan kampung halaman, menyeberangi lautan dan samudra luas menuju ke berbagai negeri dan kawasan di dunia. Termasuk di kepulauan Indonesia.
Jauh sebelum orang orang barat menginjakkan kaki di Indonesia, agama Islam sudah berkembang dengan baik dan kerajaan atau kesultanan Islam pun sudah terbentuk.
Dengan berbagai tipu muslihat, fitnah dan politik adu domba, pada akhirnya –dengan dukungan dunia barat– berhasil menguasai Indonesia.
Sejak itu kaum Alawiyyin sudah menghadapi berbagai kesulitan. Mereka menghadapi macam macam tekanan dan pengekangan dari Belanda.
Mereka tahu kaum Alawiyyin dan pribumi yang berdarah keturunan Alawiyyin, semuanya merupakan pembangkit kesadaran melawan penjajah.
Salah satu strategi nya agar kaum Alawiyyin tidak dapat lagi menghasut penduduk, mereka dilarang tinggal di daerah daerah pedalaman pulau Jawa, dilarang mengadakan hubungan pernikahan dengan keluarga keluarga istana kesultanan atau kerajaan.
Pemerintahan Hindia Belanda mengetahui jelas betapa besar pengaruh kaum Alawiyyin di kalangan kaum muslimin di hampir semua kepulauan Indonesia.
Tanpa disadari kolonial, strategi mereka itu malah berdampak positif.
Salah satunya yang dulunya kaum Alawiyyin berada di pedalaman dapat pindah ke kota. Mereka nikah dengan dengan wanita wanita pedalaman dan sekaligus mengganti nama asli dengan nama nama keluarga Jawa, dan anak anak keturunan nya.
Akibatnya pula lambat laun pusat keislaman berpindah ke daerah daerah pinggir Utara pulau Jawa, seperti Semarang, Surabaya, Cirebon, Jakarta, Banten dan lain sebagainya.
Yang tidak dapat pindah ke kota tetap tinggal di pedalaman, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan ” kaum” atau ” Pekauman ‘.
Cara lain yang dilakukan penjajah Belanda untuk menghancurkan Islam dan melawan pengaruh Allawiyyin ialah menerapkan diskriminasi di bidang pendidikan dan pengajaran.
Anak anak kaum Muslimin tidak dibolehkan memasuki sekolah sekolah negeri.
Mereka hanya dapat memasuki madrasah dan pondok pesantren.
Bagi orang tua yang mengharapkan anak anak nya kelak dapat bekerja sebagai pegawai rendahan, juru tulis, mandor, atau opas kantor pada jawatan pemerintahan atau perusahaan Belanda, mereka memasukkan anak anak nya ke Vervolk School (sekolah rakyat) enam tahun atau tiga tahun di sekolah sekolah desa.
Di sini anak anak dilarang memakai sarung dan kopiah, seperti lazimnya yang berlaku di madrasah, pesantren atau pengajian.
Mereka diharuskan memakai celana pendek hingga di atas lutut, perempuan pakai rok– dua macam pakaian yang tidak memenuhi kewajiban menutup aurat sebagai mana yang ditentukan oleh syariat Islam.
Mereka biasanya bergaul bebas seperti anak anak Belanda.
Sadar akan maksud Belanda yang hendak menjauhkan bangsa Indonesia dari agama Islam, banyak sekali murid murid Vervolk School yang oleh para orang tua nya dimaksud juga ke madrasah madrasah, pesantren pesantren dan pengajian untuk memperoleh pendidikan agama Islam meski dengan waktu terbatas, yakni di petang hari.
Umumnya madrasah madrasah dan pesantren serta pengajian diselenggarakan oleh orang ‘Alawiyyin’ atau oleh kiai kiai keturunan mereka atau oleh orang muslimin pribumi yang telah memperoleh pendidikan agama dari mereka.
Dengan demikian hubungan antara Alawiyyin dengan muslimin pribumi tidak terputus, bahkan terasa semakin erat karena terdorong oleh kesadaran bersama dalam menghadapi tipu muslihat politik Belanda.
Dalam batas batas tertentu Belanda berhasil menciptakan lapisan khusus terkenal dengan sebutan ” kaum priyayi”, kaum menak, kaum ningrat dan sebutan sebutan lain yang menunjukkan ketinggian status mereka.
Dengan tujuan agar dihadap hadapkan dengan sesama anak bangsa dan agama nya sendiri dalam upaya melestarikan penjajahan Belanda di Indonesia.
Untuk itu, Belanda melarang pelajaran agama Islam di sekolah sekolah negeri. Demikian pula pelajaran menulis huruf Arab, lulusan murid sekolah banyak tidak dapat membaca Alquran, kitab suci agama mereka sendiri.
Melalui perjuangan yang tegar pada akhirnya pemerintah Belanda membolehkan kaum Alawiyyin mendirikan sekolah sekolah agama Islam dengan syarat hanya di kota kota besar dan tidak menggunakan nama yang sama.
Kaum Alawiyyin mendatangkan guru guru agama Islam dari beberapa negeri untuk mengajar di madrasah madrasah.
Murid murid yang berbakat dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan pelajaran, seperti ke Hadramaut, Hijaz, Turki, Mesir, Iraq dan lain sebagainya.
Selama pendudukan Jepang di Indonesia, kaum Alawiyyin senasib dengan kaum muslimin pribumi.
Mereka praktis tidak dapat berbuat banyak di bidang politik dan sosial.
Bahkan kegiatan dakwah dan tabligh pun sangat terbatas. Jepang tidak mengenal hukum apapun kecuali hukum militer mereka.
Alhamdulillah perkembangan pendidikan yang bernuansa islami dewasa ini cukup pesat.
Beberapa pakaian anak anak didik di sekolah sekolah negeri sudah dilakukan menurut syariat Islam yaitu menutup aurat tidak seperti dahulunya yang dibuat oleh Belanda. (*)
* Oleh : Albar Sentosa Subari, Dosen dan Ketua Pembina Adat Sumsel