Tidak Akan Mengangkat Batang Terendam
* Oleh : Albar Sentosa Subari, Ketua Pembina Adat Sumsel
Britabrita.com — FOCUS Group Discussion, Kerjasama Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dihelat di Hotel Santika Radial dari tanggal 25-27 Juni 2023. Dengan Tema ‘ Inventarisasi dan identifikasi Tanah Ulayat di Sumatera Selatan.’
Direktur Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, yang diwakili Tenaga Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, Bidang Hukum Agraria dan Masyarakat Adat Dr. M. Adil Abdullah, SH, Mcl, mengatakan antara lain maksud diadakan inventarisasi dan identifikasi Tanah Ulayat di Sumatera Selatan tidak bermaksud untuk ” mengangkat batang terendam”.
Kalimat ini bagi saya selaku pemerhati dan sudah lama bergelut di dunia pendidikan yang membidangi hukum adat baik secara teoretis maupun praktis mengikuti kegiatan lembaga adat di Sumatera Selatan sejak awal tahun 2000, yang saat itu diketuai H. Ali Amin, SH, dan dilanjutkan Djohan Hanafiah, SE sertaH. Hambali Hasan, SH, dan saya sekarang melanjutkan estafet kepemimpinan lembaga adat istiadat Sumatera Selatan, mempunyai persepsi tersendiri.
Mengingat kita tidak mungkin lagi dapat mengelola secara maksimal keberadaan tanah Ulayat tersebut ( baca masyarakat adat maksudnya), hal di atas baik secara normatif sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun doktrin dari Prof. Dr. Sunaryati Hartono, SH, guru besar universitas Padjadjaran.
Bahwa setelah berlakunya undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok pokok Agraria, bahwa makna Ulayat yang tadinya dikuasai komunitas masyarakat hukum adat sekarang dikuasai oleh Negara guna pengaturan selanjutnya (baca negara bukan memiliki).
Sebagaimana kita kutip pernyataan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Dr. Bambang Supriyanto Msc, pada paparan beliau di acara Rapat Kerja Pokja PPS Sumatera Selatan tanggal 20 Juni 23 di Hotel Swarna Dwipa, dengan judul Menuju Masyarakat Sejahtera dan Hutan Lestari, mengatakan bahwa Perhutanan Sosial adalah suatu sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama, meningkatkan sejahtera, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 tahun 2021, sistem pengelolaan dimaksud adalah kelola kelembagaan, kelola kawasan dan kelola usaha.
Terlepas dari berbagai pemaknaan di atas, tentu akan menimbulkan perbedaan pemahaman satu sama lain.
Namun menurut penulis keberadaan tanah Ulayat dimaksud , terlepas siapa yang mengelola nya tidak lain adalah untuk kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan dari Sabang sampai Merauke.
Hal itu guna mewujudkan cita hukum yang ada dalam pembukaan UUD NKRI tahun 1945.
Dan salah satu bisa dilakukan dengan Percepatan Perhutanan Sosial sebagai program nasional melalui Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
Di dalam program percepatan Perhutanan Sosial, tanah adat termasuk dalam bagian yang tidak terpisahkan. Dimana komunitas masyarakat hukum adat di sekitarnya ikut aktif dalam kegiatan membuat produktif tanah tanah yang masih belum terkelola dengan bermitra dari berbagai pihak secara bersama sama.
Dari beberapa fakta di atas, sesuai dengan artikel penulis terdahulu berjudul ‘ Teori Residu-Sejarah Untuk Mengetahui Tanah Ulayat ” on line. Ada korelasinya dengan anak kalimat di dalam konteks nya dengan hak Komunitas masyarakat hukum adat pada Pasal 18 B ayat 2 UUD NKRI tahun 1945 yang mengatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. (*)