OPINI

Hukum Adat Konsep Prof. MM. Djojodiguno, SH

Britabrita.com — Sosok Djojodiguno cukup dikenal di kampus Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Penulis tidak ketemu langsung dengan beliau, namun beberapa konsep nya khusus dalam ilmu hukum adat cukup spesifik melalui Prof. Iman Sudiyat SH guru besar hukum adat di universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sewaktu Prof. Iman Sudiyat SH selaku pembimbing thesis penulis sekitar tahun delapan puluhan.

Prof. Djojodiguno SH, menulis buku berjudul ” Orientasi Hukum dan Hukum Adat” (1958) yang beliau lengkapi dengan tulisan nya berjudul ” Wat is Recht ” (Untag, Jakarta 1971, Katholieke Universiteit, Nijmegen, 1968). Dan satu lagi berjudul ” Menyandra Hukum Adat” tahun 1950.

Dari ketiga tulisan tersebut dapat diambil beberapa nilai nilai pemikiran nya yaitu, bahwa hukum bukan lah suatu phenomenon yang tegar (statis), seperti halnya suatu rangkaian ugeran ( norma), melainkan hasil karya manusia, yang selalu hidup yang bermakna: dapat berkembang dan bervariasi, sehingga dapat menyelesaikan kasus kasus yang berbeda dalam suatu persoalan hak dan kewajiban dalam peristiwa yang sejenis. Beliau sebut itulah HUKUM HIDUP ( living law).

 

Living Law

Dalam sistem hukum adat, belum tersedia aturan aturan untuk dapat diterapkan oleh petugas petugas hukum , baik oleh salah satu perlengkapan masyarakat yang berwibawa ( pimpinan informal), maupun oleh hakim yang berwujud keputusan ( ingat layon teori), mungkin pula oleh pembuat undang-undang ( wetgever), dengan hasil disebut perundangan undangan.

Untuk memperjelas maksud dari Living law (hukum yang hidup) dari konsep di atas, bahwa norma norma baik yang dibuat oleh masyarakat ( ingat teori keputusan ter Haar), baik oleh hakim sebagai karya berupa keputusan, maupun perundangan undangan karya dari badan legislatif, harus menjadi dasar sumber utama sebagai nilai nilai nilai yang hidup dalam masyarakat ( bahasa praktis nya sumber dari segala sumber hukum), itulah living law.

Di sini harus berpangkal dan berpegang kepada peragaan lahir – batin dari masyarakat itu sendiri.

Peragaan lahir terlihat dari kebiasaan sehari hari masyarakat. Sedangkan peragaan batin diketahui dari lukisan lukisan para pemimpin rakyat akan pelaksanaan harta-cita keadilan, kejujuran, kebaikan, kemuliaan.

Sehingga sebagai ilmuwan harus melakukan penelitian sebagaimana dicontohkan oleh penelitian Prof. Soepomo untuk Jawa Barat dan Djojodiguno dan Tirtawinata Jawa Tengah.

(Catatan: hasil dari pada peneliti peneliti bukan lah norma hukum yang hidup sebenarnya, itu hanya hypnosis penulis nya).

Untuk mengetahui norma norma hukum yang hidup adalah di dalam putusan pejabat kekuasaan masyarakat ( lihat teori Keputusan Ter Haar baik di tahun 1930 maupun 1937).

Dan ini didukung pula oleh pendapat Prof Dr HM Koesnoe, SH dalam testimoni nya saat memberikan nasihat kepada Dewan Pembina Adat Sumatera Selatan tahun 1979 sewaktu akan menyusun Kompetensi Adat Istiadat di sepuluh kabupaten kota di Sumatera Selatan saat itu.

Di mana dikatakan nya bahwa untuk mengetahui hukum adat / hukum yang hidup yang sebenarnya adalah ada di dalam putusan putusan pimpinan informal. Bukan dibaca dari kodifikasi ataupun kompilasi yang ada di masyarakat.

Hal ini mengingatkan pada teori Djojodiguno hukum adat adalah dinamis sekaligus plastis.

Melalui keputusan keputusan tersebut , yang tadinya sebagai norma ( kalau sistem kodifikasi) ataupun hukum yang hidup/ living law pada sistem common law. Petugas harus memainkan atau menghidupkan norma norma yang masih berupa asas ke dalam suatu aksi baik berupa putusan oleh pimpinan informal maupun oleh hakim hakim formal.

Asas atau prinsip inilah oleh Djojodiguno disebut teori Layon. (Teori mayat). Hukum seperti mayat yang tidak dapat berfungsi/bergerak, kalau tidak digerakkan.

Untuk menggerakkan hukum yang dimisalkan mayat/ layon tersebut perlu digerakkan melalui keputusan.

Sepertinya konsep di atas ( Djojodiguno) tersebut diambil over oleh Undang Undang Nomor 1 tahun 2023 yang mengakui Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat.

Hal itu memang ada benang merah nya. Hal ini terwujud dalam satu hasil Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang dilaksanakan kerja sama antara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional, yang dilaksanakan di Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 1975.

Penulis adalah Dosen dan Ketua Pembina Adat Sumsel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button