Penguasaan Atas Tanah Oleh Masyarakat Hukum Adat
Britabrita.com — Bicara masalah pertanahan, apalagi di dalam nya terlibat komunitas masyarakat hukum adat, tidak habis habisnya menjadi berita di media massa.
Baru baru ini di awal bulan September 23 di Kepulauan Riau telah terjadi bentrokan antara anggota masyarakat hukum adat dengan aparat kepolisian di saat akan dilakukan pengukuran dan pengosongan atas tanah yang telah dikuasai secara turun temurun sejak abad ke XVIII.
Rencana relokasi itu atas 16 kampung tua masyarakat hukum adat Melayu yang berada di Pulau Rempang dan Pulau Galang Propinsi Kepulauan Riau ( maklumat Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau nomor 001/LAM/Kepri/IX/23).
Berita tentang peristiwa tersebut telah dikomentari oleh Prof. Mahfud MD dan pengamat Politik Rocky Gerung.
Terlepas dari komentar mereka di atas, tentu akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan, kita tidak akan memasuki ranah itu.
Sebagai Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan, saya menyambut baik sikap tegas dari Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau yang telah mengeluarkan maklumat nya sebagai lembaga adat yang memperjuangkan haknya masyarakat hukum adat.
Prof. Dr. H. M. Koesnoe SH, guru besar hukum adat Indonesia mengatakan dalam buku beliau bahwa ; Tidak mungkin suatu komunitas masyarakat hukum adat tidak menguasai tanah komunal.
Karena di tanah itulah mereka dilahirkan, hidup dengan bercocok tanam serta di tanah itu pula mereka dikebumikan.
Dan itu merupakan hak sebagai suatu komunitas masyarakat hukum adat.
Sejak reformasi secara berturut turut hak hak tersebut telah memperoleh pengakuan dan perlindungan yuridis dalam Pasal 41 Ketetapan MPR nomor XVII/MPR/1998, disusul oleh Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, untuk akhirnya dikukuhkan pada tahun 2000 dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) amendemen kedua Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Selama ini telah terjadi pelanggaran HAM yang sifatnya kasuistik.
Namun, sebagian lagi, bahkan sebagian besar pelanggaran terhadap hak masyarakat hukum adat tersebut ternyata bersifat mendasar, sistemik, dan struktural, karena asal muasalnya dan awal dari rangkaian pelanggan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, justru berasal dari paradigma yang melatarbelakangi penyusunan Perundangan undangan sektoral (lihat dokumen sekitar acara peringatan hari internasional masyarakat hukum adat SE dunia, 9 Agustus 2006, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007: 57-58).
Dan terakhir diperkuat dengan Deklarasi Jakarta yang menuntut empat prinsip dalam memperjuangkan pemulihan dan perlindungan hak hak konstitusionalnya, masyarakat hukum adat yaitu:
1. Berwawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Kebersamaan Dalam Pemecahan Permasalahan Masyarakat Hukum Adat;
3. Berdaya Guna dan Berhasil Guna;
4. Berkeadilan dan Berkepastian Hukum.
Deklarasi tersebut disampaikan H. Anwar Saleh, atas nama seluruh masyarakat hukum adat di Indonesia ( lihat dokumen dimaksud di atas tadi).
Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan Albar Sentosa Subari ikut menandatangani deklarasi tersebut bersama sama dari utusan yang menghadiri acara tersebut.
Oleh : Albar Sentosa Subari, Ketua Pembina Adat Sumsel