OPINI

Kearifan Lokal dan Kebebasan

Britabrita.com — DI media media sering kita mendengar kalimat kalimat yang disampaikan oleh nara sumber bahwa ” banyak nilai- nilai luhur hilang”, baik dalam memberikan kata sambutan maupun dalam berbagai perbincangan baik secara formal ataupun tidak.

Sehingga perlu dilakukan pelestarian nilai nilai budaya antara lain dengan menyusun program program kegiatan, misalnya beberapa festival, walaupun tingkat keberhasilan tidak pernah di evaluasi.

Pertanyaan nya apakah hilangnya nilai nilai luhur ini terkait dengan menghilangnya kearifan lokal sementara akhlak moralitas kebangsaan dianggap mengalami kemerosotan?

Sebagai ilustrasi kira batasi kajian pada nilai nilai luhur pada kearifan lokal budaya Jawa.

Sementara nilai nilai luhur kita tempatkan sebagai unsur unsur keutamaan budi.

Kearifan lokal budaya Jawa kita, yang meskipun belum tentu diterapkan, sering dikemukakan sebagai pedoman untuk berperilaku baik bagi orang Jawa.

Tidak mudah menyusun inventarisasi pedoman hidup yang bila dimulai lalu seperti tidak ada akhirnya.

Misalnya orang Jawa yang menunjukkan pada dunia batin: orang Jawa dengan ROSO yang berbeda dengan orang Barat berfilsafat dengan Rasio.

Karya Magnis Suseno ” Etika Jawa” mengkaji kebijaksanaan orang Jawa dan mengemukakan bahwa manusia itu hidup bermasyarakat, di lingkungan alam dan lingkungan adikodrati, menjaga keselarasan sosial bersifat sekaligus menjaga keseimbangan kosmis, dimana manusia menjalani hidup dalam penentuan lebih tinggi secara adikodrati.

Ini sekaligus berarti prakarsa individual dan posisi diri pribadi kurang berarti kecuali dalam tatanan sosial, apalagi pada keseimbangan kosmis.

Hidup dalam tatanan etika Jawa memerlukan suatu kepribadian yang harus ditempa secara khusus, meninggalkan egoisme dan egosentris me serta khusus memperkuat kehidupan batin mengendalikan gejolak emosi, menjaga ketenangan.

Menurut para ahli psikologi, kepribadian yang dewasa harus mencapai keseimbangan antara rasio dan emosi.

Pandangan Jawa tentang pengendalian emosi demi ketenangan batin, keselarasan dengan tatanan sosial, tetapi berorientasi pada kehidupan bermasyarakat atau komunitas yang mungkin telah terkooptasi oleh pemusatan kekuasaan.

Sementara pencanangan ” kebebasan” dalam sejarah gagasan di Barat melahirkan negara demokrasi berdasarkan supremasi individu yang memilih pilihan.

Kehidupan demokrasi berporos pada supremasi individu, yang pada etika Jawa tidak mendapat tempat ( Amartya Sen, dalam Toeti Heraty N. Rooseno, 2015: 50).

Dampak globalisasi malah dapat memperburuk situasi karena kapitalisme global yang merangsang konsumerisme hedonistik luas dan bebas.

Kebebasan dan rasionalitas sebagai nilai nilai modernitas mestinya bergabung dengan nilai nilai luhur tradisional yang menjadi konkret lewat Penetapan Hukum.

Bila masyarakat Indonesia yang mengalami derasnya dampak budaya global, mempertanyakan nilai nilai, identitas dan norma norma masyarakat, perlu dibedakan lapisan masyarakat yang dimaksud.

Mereka yang menjadi lapisan penguasa, yang sarat dengan kemudahan dan impunitas.

Sementara di lapisan di bawah garis kemiskinan akan mengalami dampak hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Sementara itu, sudah mengalami deprivasi fisik dan mental dilengkapi dengan depresi batin, deprivasi kesehatan jiwa yang terancam dengan depresi yang meningkat.

Dewasa ini sudah menjadi pemandangan umum di mana tempat tempat keramaian yang seharusnya sebagai manusia yang mulia untuk menyambung silaturahmi, sudah menjadi manusia manusia yang ego individualistik, di mana masing-masing tanpa tegur sapa satu sama lain, karena masing masing sibuk sendiri dengan alat teknologi yang disebut dengan handphone.

Tentu ini merupakan suatu contoh fakta yang yang tak bisa terbantahkan lagi bahwa nilai nilai budaya asli yang mencerminkan kepedulian lingkungan sebagai kearifan lokal telah bergeser menjadi nilai nilai budaya yang satu sama lain tidak peduli lingkungan akibat dari dampak globalisasi yang akhirnya melahirkan kebebasan individual.

Coba kalau kita berinteraksi dengan mereka yang sedikit mengganggu kebebasan nya tentu akan disambut dengan ketidak harmonisan satu sama lain sebagai manusia yang berbudaya Nusantara. (*)

 

* Oleh : Dosen Purna FH Unsri dan Ketua Pembina Adat Sumsel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button