OPINI

Budaya Malu dan Budaya Bersalah

Albar Sentosa Subari. (Foto : FB)

 

Britabrita.com — PROF. Dr. J.E.Sahetapy, SH, guru besar emiritus Universitas Airlangga Surabaya mengatakan seluruh sistem hukum kita saat ini dikuasai mafia mesti sulit dibuktikan.

“Bau busuk ikan di kepalanya, bukan di ekornya. Pembusukan ini merajalela karena tidak ada budaya malu dan budaya bersalah,” kata Guru Besar tersebut yang terkenal sangat populer di media ( Kompas, 23 Februari 2011).

Padahal Budaya malu dan Budaya Bersalah adalah warisan nenek moyang kita dahulu yang hidup pada masyarakat hukum adat, yang tercermin dalam kata bijak sebagai untaian kata-kata indah dari sebuah pantun, gurindam dan sebagainya.

Bukan rahasia lagi, kita dapat melihat pemandangan yang menyinggung rasa keadilan di mana saat ditayangkan oleh televisi seorang koruptor baik dari kalangan legislatif maupun eksekutif ataupun dari lapisan lainnya: mereka dengan bangganya tersenyum dan melambaikan tangan seolah olah tidak merasa telah melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum.

Ini tentunya berbeda dengan negara negara di Asia lainnya. Mereka biasanya tertunduk malu dan merasa berkhianat terhadap negara. Bahkan sampai ada yang mengakhiri hidupnya karena merasa malu tidak dapat memegang amanah.

Hal ini terjadi karena salah satunya adalah instrumen hukum yang tidak adil.

Dasar filosofis dibentuknya suatu aturan hukum, selain untuk mengatur dan menertibkan masyarakat, juga yang paling penting adalah memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Hukum merupakan instrumen agar keadilan bisa dicapai sesuai dengan harapan publik.

Namun proses penegakan keadilan melalui instrumen hukum selalu diterpa dilema yang tidak berkesudahan.

Tarik menarik kepentingan hukum dengan kepentingan di luar hukum mengayun pendulum keadilan yang sering kali tidak memosisikan diri pada porsi yang sebenarnya.

Praktek penyimpanan hukum karena faktor politik – kekuasaan dan ekonomi menjadi kan rakyat miskin sulit untuk mendapatkan akses keadilan dan bahkan sering kali menjadi korban dari praktek hukum modern itu sendiri, dengan dalih kepentingan negara.

Hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan secara jelas dalam Undang-undang Dasar 2945, Pasal 34 UUD 1945 ayat (1) menegaskan bahwa fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara “.

Pasal 34 ayat (1) tersebut yang selanjutnya diikuti dengan ayat (3) berikutnya merupakan pasal yang mengatur kesejahteraan sosial.

Pasal tersebut juga bermakna bahwa negara memiliki kewajiban untuk melakukan usaha yang maksimal guna mensejahterakan masyarakat nya.

Berdasarkan ketentuan di atas dan undang undang yang telah disahkan oleh DPR, seperti Undang Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant on Economic, Social and Culture Rights ( Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan Undang Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant on Civil and Political Rights ( Konversi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik), maka negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik dari fakir miskin.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, seyogianya fakir miskin dipelihara hak haknya oleh negara (negara diwakili oleh pemerintah), termasuk hak hak untuk keadilan.

Dalam praktiknya, fakir miskin atau yang diistilahkan sebagai masyarakat miskin, masih sulit untuk mendapatkan akses terhadap keadilan.

Akses tersebut adalah jalan yang dilalui oleh masyarakat untuk menggapai keadilan di luar maupun di dalam pengadilan..

Praktek ketidakadilan hukum atas masyarakat miskin kerapkali terjadi.

Para aparat/oknum penegak hukum lebih mengedepankan aspek kepastian hukum, legalitas formal, dari pada keadilan hukum yang lebih subtansial bagi masyarakat.

Menurut Budiman Tanuredjo yang dikutip oleh Umar Sholehudin: hukum bisa dipermainkan dan diputarbalikkan, terlebih lagi menimpa wong cilik ( Umar Sholehudin, 2011: 66).

Banyak kisah anak manusia ketika berhadapan dengan hukum. Tergambar, bahwa manusia yang lemah harus berhadapan dengan hukum yang carut marut yang hanya sekedar mencari kebenaran formal, bukan kebenaran subtansial.

Rakyat yang buta hukum harus berhadapan dengan oknum penegak hukum yang fasihh bicara pasal dan punya sifat yang memanfaatkan mereka yang lemah. (*)

 

* Oleh : Albar Sentosa Subari, Dosen Purna FH Unsri dan Ketua Pembina Adat Sumsel

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button