Ironi, PBB Tak Bisa Setop Agresi Israel ke Jalur Gaza Palestina

BritaBrita.com-Gempuran Israel ke Jalur Gaza Palestina belum juga mereda meski peperangannya dengan milisi Hamas telah berlangsung lebih dari sebulan.
Terlepas dari berbagai kecaman dan upaya boikot sebagian komunitas internasional, Israel bak tutup mata dan terus melancarkan serangan udara yang semakin membabi buta ke Gaza, termasuk ke kompleks permukiman sipil, rumah sakit, hingga kamp pengungsi.
Per Rabu (8/11), Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan sebanyak 10.569 warga Palestina tewas imbas serangan Israel di Gaza, dengan 4.324 di antaranya merupakan anak-anak dan 2.823 lainnya perempuan.
Sementara itu, sebanyak 26.475 orang lainnya terluka akibat gempuran Israel di Gaza sejak 7 Oktober lalu. Masih ada 2.550 orang, termasuk 1.350 anak-anak, hilang di Gaza.
Korban tewas akibat agresi brutal Israel di Jalur Gaza, Palestina, selama satu bulan terakhir ini pun telah melebihi jumlah korban meninggal dunia dalam perang Rusia vs Ukraina yang berlangsung sejak Februari 2022 lalu.
Negara Barat terutama Amerika Serikat dan Inggris, sekutu dekat Israel, malah mendukung pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang kekeh menolak gencatan senjata.
AS cs menganggap Israel pantas membela diri dari “serangan teroris” Hamas pada 7 Oktober lalu, serangan pematik perang yang berkepanjangan hingga hari ini.
Di sisi lain, negara Arab dan mayoritas Muslim terus mendesak Israel menyetop agresinya ke Gaza. Beberapa negara juga sempat menggagas resolusi-resolusi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk di Dewan Keamanan soal situasi di Gaza.
Namun, sejumlah resolusi gagal diadopsi lantaran diveto oleh AS dan sekutu. Sejauh ini, resolusi yang berhasil diadopsi soal Gaza yakni resolusi ES-10/21 yang disepakati pada 27 Oktober lalu.
Resolusi yang diadopsi pada rapat darurat ke-10 Majelis Umum PBB terkait perang Hamas-Israel itu menyerukan gencatan senjata kemanusiaan “segera dan berkelanjutan” dan penghentian permusuhan, mengutuk “semua tindakan kekerasan yang ditujukan terhadap warga sipil Palestina dan Israel”, dan “menuntut semua pihak segera dan sepenuhnya mematuhi kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional”.
Sementara itu, pada sesi tertutup yang digelar Senin (6/11), DK PBB untuk kesekian kalinya gagal mengadopsi resolusi. AS dan Inggris memveto draf tersebut karena menolak untuk menyertakan seruan gencatan senjata segera di Gaza.
Padahal, banyak anggota DK PBB yang mendukung seruan ini guna meminimalisir korban sipil dan menyalurkan bantuan kemanusiaan sesegera mungkin.
Ketimbang gencatan senjata, AS lebih setuju dengan “jeda kemanusiaan”. Hal ini jelas memicu pertentangan di antara anggota dewan lantaran kondisi Gaza yang sudah kian mengenaskan.
Resolusi sendiri baru bisa diadopsi jika didukung oleh setidaknya sembilan dari 15 negara anggota dan tak ada hak veto yang digunakan oleh salah satu dari lima anggota tetap. Lima anggota tetap DK PBB ialah AS, Inggris, Rusia, China, Prancis.
Resolusi-resolusi sebelum ini juga gagal diadopsi karena berbagai alasan mulai dari tak ada kecaman tegas terhadap serangan Hamas, tak ada penyebutan soal hak Israel membela diri, hingga tak ada seruan untuk gencatan senjata penuh.
Dengan situasi yang ada, kenapa PBB seakan tak mampu berbuat apa-apa untuk menyetop agresi Israel ke Palestina?
Guru Besar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, mengatakan hukum internasional pada hakikatnya tidak mengikat secara hukum. Karena itu, pada akhirnya, menurutnya, yang paling berpengaruh dalam politik internasional adalah “hukum rimba”.
Terlepas dari berbagai sistem dan aturan internasional yang ada, Hikmahanto menilai pada akhirnya yang terkuat lah yang mampu menguasai sistem.
Ini, kata Hikmahanto, juga terjadi di PBB yang menurutnya lemah atas kekuatan Amerika Serikat selaku pendukung Israel.
“Kita tahu bahwa ketika berhadapan dengan Hamas, Israel pasti kuat. Dan ketika dunia berhadapan dengan Israel, di belakangnya ada Amerika Serikat dan Amerika Serikat kuat, sehingga terlihat bahwa seolah-olah dunia tidak bisa melakukan apa pun, tidak berkutik,” kata Hikmahanto dalam wawancara bersama CNN Indonesia TV.