KALAMOPINI

Janji Politik Seorang Muslim Wajib Ditepati

Britabrita.com –SECARA resmi, masa kampanye Pemilu 2024 berlangsung pada 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024.

Tahap itu mencakup rapat umum, iklan di media massa cetak, media massa elektronik dan media daring.

Saat ini, sebagian calon peserta kontestasi pesta demokrasi itu telah menebar janji manis.

Terlepas apakah nanti bisa dipenuhi saat yang bersangkutan terpilih menjadi wakil rakyat atau kepala daerah.

Masyarakat punya pandangan masing-masing tentang hal ini.

Menurut Nur Indah Rahmadaniyati, satu warga Desa Bincau Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, tidaklah salah bila mereka berjanji karena ingin mengambil hati dan simpati rakyat.

“Namun, warga telah semakin cerdas. Mereka pasti juga mempertimbangkan latar belakang calon bersangkutan.

Kalau banyak nilai minus, pasti tak akan dipilih,” ucap Indah.

Di sisi lain, Indah percaya tetap ada yang amanah, mau dan mampu menepati janji tersebut setelah nanti terpilih.

“Kita sebagai warga harus tetap berikan hak suara demi masa depan Indonesia yang lebih baik,” ujar dia.

“Tapi pilihlah yang sesuai kriteria, yang berpotensi bisa memberikan bukti,” tambahnya.

Dia sendiri punya beberapa pertimbangan.

Pertama background calon terkait. Lalu realitas visi dan misi yang bersangkutan. Serta kontestan yang menjadikan rakyat sebagai prioritas.

Warga Kabupaten Banjar lainnya, Muhammad Fikri Haekal punya pandangan berbeda.

Bagi dia, janji manis kontestan pemilu itu satu hal penting untuk masyarakat.

Setidaknya mereka mendapatkan sebuah informasi yang akan menjadi referensi dalam menentukan pilihan pada hari pencoblosan, Rabu, 14 Februari 2024.

“Kalau saya ditanya, apakah percaya atau tidak janji-janji tersebut?

Saya tidak terlalu percaya. Karena saya lihat kebanyakan masyarakat kecewa lantaran janji yang disampaikan itu tak kunjung menjadi kenyataan,” tutur Fikri.

Itu, imbuh dia, karena masyarakat merasa bahwa mereka hanya dibutuhkan suaranya saat pemilu saja. Setelahnya mereka dicueki.

“Kalau saya, mesti melihat rekam jejak calon bersangkutan dan kemungkinan dia bakal penuhi janji politiknya atau tidak,” papar Fikri.

Lalu, bagaimana Islam menyikapi janji para kontestan pemilu?

Menurut Dosen Fakultas Syariah IAI Darussalam Martapura, Muhammad Syafiq SHI MH, janji politik merupakan kewajiban yang harus ditepati.

“Seperti ditegaskan dalam Alquran (An-Nahl 91 dan Al-Isra’ 34). Hal ini berlaku pula dalam konteks janji politik pada masa pemilu,” kata dia.

Syafiq memaparkan, calon pemimpin wajib pastikan janji-janjinya selaras prinsip-prinsip agama, junjung tinggi kejujuran, serta janji yang dibuat tidak bertentangan nilai-nilai syariah.

“Memenuhi janji politik dengan integritas dan kejujuran adalah bagian dari ketaatan kepada ajaran agama dalam berpolitik,” tegasnya.

Dalam praktiknya, lanjut Syafiq, janji-janji dari calon pemimpin terbagi atas beberapa kategori dalam perspektif hukum Islam.

“Pertama, janji lakukan hal yang dilarang oleh agama menjadi terlarang untuk dipenuhi.

Kedua, janji lakukan hal yang diwajibkan harus ditepati; dan ketiga, janji lakukan hal yang dianggap mubah harus dipenuhi, meskipun pandangan ulama berbeda mengenai apakah itu wajib atau sunah,” urai dia.

Mayoritas ulama hukum Islam, imbuh dia, menyatakan bahwa memenuhi janji itu dianjurkan (mustahab) dan mengingkari janji tersebut menjadi tercela (makruh).

Pandangan ini, antara lain disampaikan oleh Abul Ala’ al-Mubarakfuri yang mengutip Imam al-Nawawi dalam Tuhfatu al-Ahwadzi Jilid 5 halaman 240.

“Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari ala Sahih al-Bukhari, halaman 5/290 menyatakan bahwa janji seseorang mencerminkan karakternya.

“Menurut beberapa ulama, memenuhi janji adalah anjuran bagi semua muslim, meskipun tidak diwajibkan.

Ada pandangan yang menyatakan bahwa bila janji terkait suatu alasan tertentu, maka wajib dipenuhi, tetapi jika tidak, maka tidak begitu diwajibkan,” jelas Syafiq.

Karena itu, dia mengingatkan, menyikapi soal janji politik ini, masyarakat seharusnya bijak dalam mendukung calon pemimpin yang tidak membuat janji di luar kewenangannya.

“Janji yang berkaitan dengan kebaikan dan dalam batas kewenangan harus ditepati.

Sementara janji yang melanggar nilai agama, tidak boleh dipenuhi.

Pemimpin yang tidak memenuhi janji atau melanggar sumpah, dapat dipertanggungjawabkan sesuai hukum yang berlaku,” tandas Syafiq.

Lantas, bagaimana cara agar calon pemimpin tidak melanggar hukum syariah?

Jawabnya, mereka (calon) perlu pastikan bahwa janji-janji yang diumbar tidak bertentangan dengan ajaran agama.

“Calon pemimpin seharusnya memahami prinsip-prinsip Islam terkait komitmen, integritas dan kejujuran dalam kepemimpinan.

Mereka harus berupaya memberikan janji-janji yang sesuai ajaran Islam. Tidak menjanjikan hal-hal yang dipandang sebagai kesalahan atau bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Dan memastikan bahwa tiap komitmen yang mereka buat dapat dipenuhi tanpa melanggar prinsip-prinsip agama,” imbau Syafiq.

Dia melanjutkan, seorang calon pemimpin juga seharusnya mengkaji janji-janji yang akan mereka berikan agar tidak bertentangan dengan hukum syariah.

“Hal ini melibatkan pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam. Konsultasi dengan ulama atau ahli agama untuk pastikan kesesuaian janji dengan prinsip-prinsip agama.

Serta perhatikan bahwa tiap komitmen yang diucapkan tidak melanggar aturan-aturan dalam syariat Islam,” pesan Syafiq. (Banjarmasin.co.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button