
Oleh: Bangun Lubis (Wartawan BritaBrita.com)
Antara Cahaya Wahyu dan Bayang-Bayang Budaya
DI antara banyak fitnah terhadap Islam, satu yang paling sering diangkat adalah tentang bagaimana agama ini memperlakukan perempuan. Seolah-olah Islam datang untuk mengekang gerak, membatasi peran, bahkan meminggirkan eksistensi perempuan dalam kehidupan. Tuduhan demi tuduhan dilontarkan dari luar—dan lebih menyedihkan lagi, sebagian besar salah paham itu justru tumbuh subur dari dalam.
Namun benarkah demikian? Ataukah ini hanya akibat dari kabut budaya patriarki yang menutupi wajah Islam yang sejati?
Islam dan Perempuan: Sebuah Revolusi yang Terlupakan
Ketika Islam datang di tengah masyarakat jahiliah, perempuan tak lebih dari komoditas. Mereka tidak punya hak, bahkan tak jarang bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap aib keluarga. Mereka diwariskan seperti harta, tanpa kehendak, tanpa martabat. Namun kemudian datang Islam dengan cahaya yang memekakkan gelap.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang membesarkan dua anak perempuan sampai mereka baligh, maka aku dan dia akan bersama seperti ini di surga.”
(HR. Muslim)
Belum pernah dalam sejarah Arab sebelum Islam, ada ajaran yang meninggikan martabat perempuan seperti ini. Anak perempuan tidak lagi dianggap beban, tetapi jalan menuju surga.
Islam memberikan perempuan hak yang tak pernah mereka kenal sebelumnya:
- Hak atas kehidupan: tak boleh ada pembunuhan bayi perempuan.
- Hak atas harta: bisa memiliki, mewarisi, menjual dan membeli.
- Hak atas pendidikan: menuntut ilmu diwajibkan bagi setiap muslim dan muslimah.
- Hak atas pernikahan: tak bisa dipaksa menikah, berhak memilih atau menolak.
- Hak atas kehormatan diri: tak bisa dinikahi tanpa akad yang sah.
- Hak atas perceraian: perempuan bisa mengajukan khulu’ jika merasa tidak cocok atau terzalimi.
- Hak atas politik dan suara publik: perempuan di masa Nabi ﷺ ikut berbaiat, bermusyawarah, bahkan memberi koreksi kepada pemimpin.
Ketika Aisyah Menjadi Cermin Ilmu
Dalam sejarah Islam, kita mengenal Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha—bukan hanya istri Rasulullah ﷺ, tetapi juga seorang ilmuwan. Lebih dari dua ribu hadits diriwayatkan darinya. Para sahabat laki-laki pun berguru kepadanya. Imam az-Zuhri bahkan berkata, “Jika seluruh ilmu para sahabat wanita dikumpulkan, maka ilmu Aisyah lebih unggul.”
Inilah perempuan yang menjadi bintang ilmu, bukan sekadar penghias rumah. Islam tidak pernah melarang perempuan belajar. Justru mendorongnya, membukakan jalannya, dan mengangkat derajatnya karena ilmunya.
Lantas, dari mana datangnya tuduhan bahwa Islam mengekang perempuan dari pendidikan? Dari siapa kalau bukan dari mereka yang tak paham sejarah, atau mengambil budaya lalu disangka agama. Banyak ulama mengatakan demikian.
Umar bin Khattab dan Sebuah Koreksi dari Perempuan
Kisah ini layak direnungkan. Suatu ketika Umar bin Khattab, khalifah yang terkenal tegas itu, berdiri di mimbar dan mengumumkan wacana tentang pembatasan mahar. Belum sempat ia menutup pidato, seorang perempuan dari kalangan biasa berdiri dan berkata lantang, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an: Dan jika kamu telah memberikan kepada seseorang dari mereka mahar yang banyak, maka janganlah kamu mengambilnya kembali (QS. An-Nisa: 20)? Bagaimana mungkin engkau membatasi apa yang Allah tidak batasi?” (Risalah Kitab Islam dari Banyak Bacaan)
Umar terdiam. Lalu ia berkata jujur, “Perempuan ini benar. Umar salah.” Sungguh, inilah keindahan Islam. Kebenaran tidak dibatasi oleh kelamin. Bahkan seorang khalifah pun tunduk pada hujjah, meski datang dari perempuan biasa.
Maka, ketika hari ini ada yang berkata bahwa suara perempuan tak layak didengar di ruang publik, kita perlu bertanya: Itu ajaran siapa? Islam atau budaya?
Islam Bukan Patriarki, Tapi Wahyu yang Murni
Masalah utama bukan pada Islam, tapi pada bagaimana Islam dipraktikkan. Banyak komunitas muslim menafsirkan ajaran agama berdasarkan adat istiadat lokal. Di sinilah patriarki—bukan sebagai konsep agama, tapi sebagai warisan budaya—masuk menyusup dalam praktik keislaman.
Padahal Islam bukan patriarki. Islam adalah tauhid dan keadilan. Dan keadilan itu tidak melihat hanya saja pada jenggot atau hanya saja pada kerudung, tapi kesetaraan dalam hak, kewajiban, dan tanggung jawab moral di hadapan Allah.
Rasulullah ﷺ adalah yang paling lembut kepada perempuan. Beliau bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya. Dan aku adalah yang paling baik kepada istriku.” (HR. Tirmidzi)
Apa makna dari hadis ini, jika bukan ajakan kepada laki-laki untuk tidak merasa lebih tinggi, tetapi justru berlomba dalam kemuliaan akhlak?
Menyaring Antara Adat dan Syariat
Hari ini, tugas umat Islam bukan menggugat ajaran agama, tapi menyaring antara adat dan syariat, antara budaya yang membelenggu dan wahyu yang membebaskan. Kita harus memisahkan mana yang berasal dari Allah, dan mana yang hanya dari tafsir manusia yang terbatas dan bias.
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Ma’idah: 50)
Jika kita ingin memuliakan perempuan, maka caranya bukan dengan mengikuti Barat yang menjadikan perempuan bebas tanpa batas, tapi dengan kembali ke Islam yang memuliakan perempuan dalam batas yang suci dan bermartabat. Semua teratur dalam Al Quran dan Hadis, serta risalah Islam itu sendiri.
Islam tidak ingin perempuan jadi objek komersialisasi, atau dieksploitasi oleh industri. Islam ingin perempuan tetap bercahaya dalam kebaikan, menjaga dirinya dan generasinya. Dalam kesucian itu, ada kemuliaan yang tak bisa dibeli oleh iklan atau popularitas.
Penutup: Perempuan adalah Permata, Islam adalah Penjaganya
Maka, mari kita jernihkan kembali pandangan kita. Perempuan adalah permata. Islam adalah penjaganya. Jangan biarkan bias sejarah dan budaya menodai cahaya ajaran Islam yang sejati.
Dan bagi perempuan muslimah—tegaklah dengan bangga.
Karena Islam memuliakanmu, bahkan sejak belum lahir.
Karena dalam doamu, dalam ilmumu, dalam sabarmu,
ada jalan menuju surga yang tidak dimiliki siapa pun—kecuali engkau yang tulus. (Aid Al Qorni – La Tahzan)
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa…”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Islam tidak datang untuk menjadikan perempuan boneka atau budak. Islam datang untuk memuliakan mereka sebagai hamba Allah yang merdeka—dari hawa nafsu, dari eksploitasi, dan dari standar dunia yang menyesatkan.
Di balik hijab, ada pemikiran cemerlang. Di balik kelembutan, ada kekuatan yang luar biasa. Dan di balik doa seorang ibu, ada dunia yang bisa berubah.
Al-Qur’an menyebut wanita bukan hanya sebagai istri, ibu, dan anak—tetapi sebagai mitra kehidupan, yang memiliki ruh, akal, dan amanah dari Allah. Sunnah Nabi menyempurnakan itu dengan teladan cinta yang tak lapuk oleh zaman.
Maka, jika dunia hari ini mencela Islam sebagai agama patriarkal, itu karena mereka tidak membaca Al-Qur’an dengan mata hati. Mereka hanya melihat kerudung, bukan melihat kehormatan. Mereka hanya melihat batasan, bukan perlindungan. Padahal, di balik setiap ayat dan sabda, ada pelukan Tuhan bagi para wanita—lembut, kokoh, dan penuh cinta.(*)