Meikarta: Dari Mimpi Kota Modern ke Deretan Masalah Panjang

BritaBrita.com, Bekasi — Sekitar delapan tahun lalu, tepatnya 4 Mei 2017, nama Meikarta mencuat sebagai mega proyek ambisius di Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Dengan nilai investasi mencapai Rp278 triliun, proyek ini digadang-gadang bakal membangun 100 gedung pencakar langit dan menyediakan 225 ribu unit hunian.
Namun seiring waktu, perjalanan Meikarta justru dihantui sederet masalah, mulai dari perizinan, dugaan kasus suap, hingga keterlambatan serah terima unit apartemen.
Menurut laporan tirto.id (26/4/2025), berbagai tantangan ini menyebabkan proyek Meikarta jauh dari bayangannya sebagai “kota impian”. Bahkan, beberapa konsumen yang sudah membayar penuh sejak 2017 belum juga menerima unit yang dijanjikan hingga kini.
Komitmen Baru dari Bos Lippo Group
Dalam pertemuan di Kantor Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Jakarta pada Rabu (23/4/2025), James Riady, Bos Lippo Group, berjanji akan segera menyelesaikan pengembalian dana konsumen Meikarta. Ia mengakui bahwa membangun kota baru penuh tantangan, terutama terkait pengadaan lahan dan pembangunan infrastruktur (sumber: detik.com, 23/4/2025).
James menyebut bahwa hingga kini sekitar 16 ribu unit apartemen Meikarta telah diserahkan kepada konsumen, dan akan ada serah terima lanjutan tahun ini. Namun, masih ada sekitar 3 ribu unit lainnya yang tengah dalam proses penyelesaian.
Pemerintah Menargetkan Penyelesaian dalam Tiga Bulan
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait (akrab disapa Ara), menargetkan penyelesaian pengembalian dana konsumen Meikarta dalam waktu tiga bulan, yaitu hingga 23 Juli 2025 (tirto.id, 26/4/2025).
Kementerian PKP sebelumnya telah meluncurkan layanan BENAR-PKP (Bantuan Edukasi dan Asistensi Ramah untuk Pengaduan Konsumen Perumahan) pada Maret 2025. Hingga 23 April 2025 pukul 12.00 WIB, tercatat ada 118 aduan, dengan total klaim ganti rugi mencapai sekitar Rp26 miliar, berdasarkan data BENAR-PKP.
Salah satu konsumen, Jeffry Victor, yang telah melunasi unit studio Meikarta senilai Rp286 juta sejak 2017, mengaku berharap segera menerima unitnya atau mendapatkan pengembalian dana (sumber: Antara, 23/4/2025).
Jeffry menyebut, pernah ada tawaran relokasi unit ke tower lain pada 2020, namun hingga kini belum ada kemajuan pembangunan.
Jejak Panjang Masalah Meikarta
Sejak awal, proyek Meikarta memang sarat kontroversi. Pada Mei 2017, Pemerintah Provinsi Jawa Barat meminta penghentian proyek karena masalah izin. Saat itu, Meikarta mengklaim memiliki izin pembangunan untuk 350 hingga 500 hektare, sementara izin resmi hanya mencakup 84,6 hektare (tirto.id, 26/4/2025).
Masalah lain muncul pada Oktober 2018, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap pengurusan perizinan Meikarta. Kasus ini menyeret nama Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (tirto.id, 26/4/2025).
Selain itu, pada Mei 2018, pengembang Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), pernah digugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh dua vendor, yakni PT Relys Trans Logistic dan PT Imperia Cipta Kreasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dampak terhadap Kepercayaan Masyarakat
Menurut Aleviery Akbar, pengamat properti, developer Meikarta diduga mengalami kesulitan dana untuk menyelesaikan proyek, apalagi di tengah pasar properti yang belum sepenuhnya pulih (tirto.id, 26/4/2025).
Senada dengan itu, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyebut kasus Meikarta dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pasar apartemen di Indonesia.
Huda juga menyoroti fenomena serupa, seperti masalah di Apartemen Samesta Mahata Tanjung Barat, Jakarta, yang menggunakan konsep Transit Oriented Development (TOD) namun juga gagal memenuhi janji kepada konsumen (tirto.id, 26/4/2025).
“Pasar apartemen seperti Meikarta banyak yang bermasalah. Tidak heran kalau ke depan, masyarakat lebih memilih menyewa rumah daripada membeli apartemen,” kata Huda.
Mega proyek Meikarta menjadi contoh pahit bahwa membangun sebuah “kota impian” membutuhkan lebih dari sekadar modal besar dan promosi agresif. Perjalanan panjang penuh polemik ini menjadi pelajaran penting bagi industri properti nasional, sekaligus pengingat tentang pentingnya transparansi, kepatuhan hukum, dan perlindungan konsumen.
Editor: Bangun Lubis