
HARI BURUH Internasional atau May Day, yang diperingati setiap 1 Mei, menjadi momen penting bagi buruh di Indonesia untuk menyuarakan hak-hak mereka. Pada 2025, peringatan ini mengusung tema “Keadilan Sosial di Era Digital: Upah Layak dan Perlindungan Pekerja”, mencerminkan dinamika dunia kerja yang semakin terpengaruh oleh transformasi teknologi dan ekonomi global. Meski pemerintah mengklaim kemajuan dalam reformasi ketenagakerjaan, persoalan klasik seperti upah minimun, PHK massal, dan ketidakpastian kerja masih menjadi tantangan. Untuk menganalisis kondisi terkini ada baiknya kita meninjau akar permasalahan perburuhan di Indonesia dalam satu dekade terakhir (2015–2025).
Pada 2025, Indonesia menghadapi dua realitas: pertumbuhan ekonomi yang stabil di angka 5,2% (Bappenas, 2024) dan lonjakan pekerja di sektor informal (37,1% dari total angkatan kerja menurut BPS, 2024). Pemerintah merilis kebijakan Program Kartu Prakerja 4.0 untuk meningkatkan kompetensi pekerja, namun kritik tetap muncul karena dianggap tidak menyentuh akar masalah, seperti upah rendah dan perlindungan sosial yang timpang. Di sisi lain, penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 mengalami kenaikan rata-rata 6,5%, tetapi masih di bawah standar kebutuhan hidup layak (KHL) yang mencapai Rp4,8 juta per bulan di perkotaan (SBMI, 2024).
Kondisi Buruh Harus Dibenahi
Sepanjang 2015–2025, konflik upah minimum menjadi isu dominan. Misalkan saja, pada 2020, UMP DKI Jakarta hanya Rp4,4 juta, sementara KHL mencapai Rp5,2 juta (Jaringan Lembaga Buruh Jakarta, 2020). Meski UMP 2025 naik menjadi Rp5,1 juta, disparitas tetap terjadi karena inflasi pangan dan energi. Data BPS (2024) menunjukkan 43% pekerja di sektor manufaktur bergaji di bawah UMP.
Belum lagi praktik outsourcing marak pasca UU No. 11/2020 (Omnibus Law Cipta Kerja). Perusahaan berdalih menghemat biaya dengan mempekerjakan buruh kontrak tanpa jaminan pesangon atau jaminan sosial. Pada 2023, 68% pekerja pabrik di Jawa Barat berstatus kontrak (FSPMI, 2023). Sistem ini memperparah ketidakstabilan ekonomi pekerja.
Pandemi COVID-19 (2020–2022) memicu PHK terhadap 6,7 juta pekerja (Kemnaker, 2021). Sektor pariwisata dan manufaktur paling terdampak. Meski ekonomi pulih pada 2023, gelombang PHK tetap terjadi di industri digital karena automasi, seperti kasus GoTo yang merumahkan 1.300 karyawan (2023).
Pembatasan Kebebasan Berserikat dan Intimidasi
Di beberapa daerah, pelarangan demonstrasi buruh masih terjadi. Pada 2022, aksi buruh di Kendal ditolak aparat dengan alasan “mengganggu ketertiban”. Laporan Human Rights Watch (2023) mencatat 124 kasus intimidasi terhadap aktivis buruh sejak 2020.
Belum lagi di sektor informal (ojol, pedagang kaki lima) tumbuh 15% pasca pandemi, tetapi hanya 12% yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan (BPS, 2024). Pekerja rentan ini sering kehilangan akses kesehatan dan pensiun.
Dengan segala permasalahan yang ada, berbagai kebijakan pemerintah belum juga kuat mengatasi persoalan buruh di tanah air, pemerintah telah melakukan revisi UU Cipta Kerja, melakukan program jaminan kehilangan pekerjaan dengan memberikan tunjangan selama 6 bulan bagi korban PHK. Bahkan Kemnaker membentuk satgas pelaporan pelanggaran hak buruh berbasis aplikasi. Namun, LSM seperti KontraS menilai kebijakan ini belum efektif karena minimnya sanksi bagi pelanggar.
Akar Masalah Utama
Persoalan buruh di Indonesia bersifat sistemik, dengan akar utama sebenarnya pada paradigma pembangunan yang timpang—di mana pertumbuhan ekonomi diutamakan tanpa integrasi keadilan sosial. Kebijakan pro-investasi sering mengabaikan hak buruh, sementara struktur ekonomi yang terfragmentasi (formal vs informal) memperkuat siklus kemiskinan dan eksploitasi.
Seperti contoh saja yakni Omnibus Law Cipta Kerja, dapat menyebabkan ketimpangan tersebut. Pasalnya, kebijakan ini dirancang untuk menarik investasi asing dengan menyederhanakan perizinan dan mengurangi “biaya ekonomi” (upah, pesangon, perlindungan lingkungan) . Ironinya, upah minimum ditentukan berdasarkan formula ekonomi makro (pertumbuhan inflasi) tanpa mempertimbangkan kebutuhan hidup riil. Sistem kontrak kerja dan outsourcing diperluas, sehingga buruh kehilangan jaminan kerja tetap. Disini dapat kita lihat bahwa pemerintah mengorbankan hak buruh demi meningkatkan daya saing investasi, memperkuat ketergantungan pada model ekonomi berbasis upah murah.
Belum lagi adanya dominasi sektor informal, dikarenakan pembangunan industri yang tidak merata. Sehingga 60% tenaga kerja Indonesia terpaksa masuk sektor informal (pedagang kaki lima, buruh harian) tanpa jaminan sosial. Banyak buruh perkebunan kelapa sawit di Kalimantan bekerja tanpa kontrak resmi, upah di bawah UMP, dan tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Disini dapat dilihat dimana negara belum bisa menciptakan lapangan kerja formal berkualitas sehingga buruh terjebak dalam kemiskinan struktural.
Dampak timpang lainnya yakni ketergantungan pada industri ekstraktif, dimana pembangunan ekonomi bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam (batubara, mineral, sawit) yang menguntungkan korporasi tetapi merusak lingkungan dan mengabaikan hak masyarakat lokal. Banyak contohnya, dimana banyak proyek besar menghasilkan devisa besar bagi negara, tetapi masyarakat di sekitarnya mendapat sedikit manfaat. Bahkan buruhnya banyak dari luar daerah tersebut sementara tingkat kemiskinan dan pengangguran lokal tetap tinggi. Rentetan dari ketimpangan itu berimbas kepada perhitungan upah minimum yang lebih mengakomodasi kepentingan pengusaha daripada kebutuhan buruh. Buruh terpaksa bekerja lembur atau mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sementara pengusaha menikmati margin keuntungan yang tinggi.
Banyak yang bertanya mengapa paradigma ketimpangan itu seolah dipertahankan ? Diantaranya karena adanya pengaruh oligarki, yakni elit politik dan pengusaha saling terkait dalam membuat kebijakan. Contohnya, ada pemilik perusahaan tekstil besar menjadi anggota partai politik yang mendukung Omnibus Law. Kemudian, adanya narasi “Trikle-Down Effect” dimana pemerintah percaya pertumbuhan ekonomi otomatis akan menetes ke kelas bawah, meski faktanya ketimpangan semakin lebar. Belum lagi tekanan globalisasi, dimana berbagai negara bersaing untuk menarik investor dengan menawarkan upah buruh termurah.
Upah Layak Banyak Manfaat Bagi Bangsa
Dari berbagai riset yang dilakukan, manfaat upah layak bagi buruh lebih banyak terutama untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan kepada oknum-oknum yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Sebab, kualitas dan dampak dari sisi positif lebih fundamental dan berjangka panjang. Sementara sisi negatif umumnya bersifat tantangan teknis atau operasional yang bisa dikelola dengan kebijakan yang tepat. Sisi positif, atau dampak yang paling mendasar yakni peningkatan kesejahteraan, keadilan sosial, dan pertumbuhan ekonomi menyentuh aspek hak asasi manusia dan stabilitas masyarakat. Dan ini dampaknya bersifat jangka panjang dengan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Meskipun ada dampak negatifnya, tantangan itu sebenarnya bisa diatasi asalkan pemimpinnya berkomitmen dan bersungguh-sungguh. Seperti biaya operasional, inflasi, atau PHK adalah risiko praktis yang bisa diminimalkan melalui kebijakan pemerintah (subsidi, pelatihan), dialog sosial, atau strategi bisnis (efisiensi teknologi). Contohnya Jepang dan Jerman berhasil menjaga upah layak dengan tetap kompetitif berkat produktivitas tinggi dan inovasi. Sisi negatif upah layak adalah bersifat kondisional (tergantung kebijakan sektor, dan wilayah), sedang sisi positifnya bersifat universal atau bermanfaat bagi semua jika dijalankan dengan baik.
Dengan begitu bahwa, upah layak lebih banyak manfaatnya karena menyangkut hak dasar dan keadilan sosial. Sisi negatifnya adalah hambatan teknis, bukan kegagalan konsep. Dengan kebijakan yang tepat (seperti insentif pemerintah, diferensiasi upah, dan peningkatan produktivitas), dampak negatif dapat dikurangi tanpa mengorbankan hak buruh. Negara-negara Skandinavia berhasil menggabungkan upah layak, produktivitas tinggi, dan daya saing bisnis melalui kolaborasi pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha.Jadi, meskipun tantangannya banyak, upah layak tetap lebih baik karena menjadi pilar keadilan dan pertumbuhan inklusif.
Alternatif Paradigma Seimbang
Disamping itu, perlu sekali alternatif paradigma seimbang yang mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi dengan keadilan sosial, misalnya dengan mendorong industrialisasi berbasis teknologi (sehingga buruh tidak hanya jadi “tukang” murah), memperkuat jaminan sosial universal, termasuk untuk sektor informal dan menetapkan upah berbasis living wage dan melibatkan serikat buruh dalam penyusunan kebijakan. Disamping juga memperkuat penegakan hukum dan pengawasan ketenagakerjaan. Perlu juga meningkatkan investasi di pendidikan vokasi dan sektor industri bernilai tambah tinggi, memberdayakan serikat buruh melalui harmonisasi agenda dan advokasi kebijakan inklusif serta meghapus praktik outsourcing abusive dan memperluas jaminan sosial untuk sektor informal. Sebab, tanpa perubahan struktural yang holistik, persoalan buruh akan tetap menjadi lingkaran setan yang tidak berkesudahan, antara tuntutan buruh, resistensi pengusaha, dan kebijakan pemerintah yang setengah hati.
Paradigma timpang di Indonesia adalah warisan sistem ekonomi yang mengabadikan ketergantungan pada eksploitasi buruh dan SDA, tanpa membangun fondasi ekonomi berkeadilan. Perubahan hanya mungkin terjadi jika ada keberanian politik untuk memprioritaskan hak buruh, mengurangi kesenjangan, dan beralih ke model pembangunan berbasis nilai tambah, bukan eksploitasi.
Dan pada Hari Buruh 2025 ini hendaknya menjadi cermin perlawanan terhadap ketimpangan sistemik. Jika pemerintah konsisten mereformasi UU ketenagakerjaan dan memperkuat pengawasan, Indonesia berpotensi menjadi contoh kesetaraan kerja di Asia Tenggara. Namun, tanpa transparansi dan penegakan hukum, tuntutan “upah layak dan jaminan sosial” hanya akan menjadi retorika semata. (Tim Redaksi)