
PERGURUAN TINGGI (PT) dan dosennya memilik peran sentral dalam kemajuan peradaban bangsa dan negara. Tidak hanya sebagai pencetak SDM unggul, tetapi juga sebagai penggerak inovasi, penjaga kebudayaan, dan mitra strategis dalam membenahi sistem pendidikan dari dasar. Perguruan tinggi memiliki keterkaitan dengan pendidikan dasar, menengah-atas (TK,SD,SMP,SMA/SMK) yang bersifat multidimensional, mulai dari penyiapan guru hingga penguatan kurikulum. Namun, masih ada tantangan struktural yang perlu diatasi untuk memaksimalkan peran ini.
Di momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2025 ini, peran strategis perguruan tinggi dalam pembangunan haruslah dirasakan, mulai dari penghasil SDM berkualitas dan berdaya saing. Pasalnya, perguruan tinggi bertanggung jawab menghasilkan lulusan yang kompeten sesuai kebutuhan pasar kerja dan pembangunan. Data BPS (2023) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) sarjana di Indonesia masih cukup tinggi berkisar 6.95% atau lebih rendah dibandingkan lulusan SMA (9.15%) dan SMP (12.50%). Namun, Bank Dunia (2022) mencatat bahwa 55% lulusan PT di Indonesia dinilai tidak siap kerja karena kesenjangan kompetensi. Di sinilah peran dosen dan kurikulum berbasis industri menjadi krusial.
Belum lagi peran perguruan tinggi sebagai pusat inovasi dan riset. Menurut Kemendikti Saintek (2025), Indonesia memiliki 303.067 orang dosen di 4.410 perguruan tinggi negeri dan swasta. Namun hanya 163 perguruan tinggi saja yang berstatus unggul. Kontribusi risetnya masih terus meningkat. Data Scimago Journal Rank (2022) menempatkan Indonesia di peringkat 43 dunia dalam output riset, jauh di bawah Malaysia (32) dan Singapura (17). Padahal, riset di perguruan tinggi sudah seharusnya menjadi solusi masalah nasional, seperti stunting, krisis iklim, atau pengembangan teknologi lokal dan lain sebagainya.
Perguruan tinggi juga dituntut menjadi pengabdi masyarakat dan transfer ilmu. Melalui program Kampus Merdeka yang diteruskan menjadi Kampus Berdampak, ada juga Kuliah Kerja Nyata (KKN), perguruan tinggi terlibat langsung dalam pemberdayaan masyarakat. Seperti contohnya, Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan sistem Biopori untuk mitigasi banjir di Yogyakarta, sementara Institut Teknologi Bandung (ITB) membantu desa wisata di Jawa Barat mengadopsi teknologi digital dan lainnya. Disamping juga perguruan tinggi menjadi penguat kebijakan publik dengan cara melibatkan ahli dari perguruan tinggi dalam penyusunan kebijakan pendidikan. Misalnya, perumusan kurikulum dengan melibatkan para pakar di bidangnya.
Perlu Sinergi dengan Pendidikan Dasar dan Menengah
Perguruan tinggi juga harus turut andil dalam kesinambungan kualitas Pendidikan yang dimulai dari TK dan SD. Dalam hal ini, adanya kesiapan perguruan tinggi untuk penyiapan dan pelatihan guru, atau disebut dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (2023) menyebutkan 78% guru SMA/SMK sudah bersertifikat pendidik, tetapi hanya 34% guru SD yang memenuhi standar kualifikasi S1.
Di perguruan tinggi, para dosen juga bisa berkolaborasi dalam pengembangan kurikulum dan bahan ajar. Seperti di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) rutin mengadakan pelatihan metode pembelajaran inovatif bagi guru SD-SMA. Juga ada pengembangan kurikulum dan bahan ajar. Dimana peran perguruan tinggi melalui para dosennya berperan dalam menyusun buku teks dan modul pembelajaran. Contohnya saja misalnya, Tim dari Universitas Negeri Malang (UNM) membantu Kemdikti dalam menyusun materi literasi digital untuk SMA/SMK. Namun, OECD (2021) mengkritik bahwa hanya 40% konten kurikulum SMA/SMK di Indonesia yang relevan dengan kebutuhan industri.
Disamping juga perlunya perguruan tinggi vokasi (Politeknik) dan SMK harus terintegrasi untuk menciptakan link and match. Sayangnya, Kemendikbudristek (2022) mengungkapkan bahwa hanya 30% lulusan SMK terserap di industri terkait. Untuk itu, PT seperti Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) mengadopsi model dual system education (DSE), menggabungkan pembelajaran di kampus dan praktik langsung di pabrik.
Tantangan Perguruan Tinggi
Di dunia perguruan tinggi bukan saja tanpa tantangan, namun justru semakin banyak misalkan saja kondisi realita saat-saat ini. Seperti kualitas dosen yang telah menempuh S3 atau doctoral hanya 18%. Kemudian ada kesenjangan geografis dimana 65% perguruan tinggi terkonsentrasi di pulau Jawa saja (BPS, 2023), menyebabkan minimnya akses pendidikan tinggi di Papua dan Kalimantan. Kemudian di tanah air masih rendahnya anggaran riset. Indonesia hanya mengalokasikan 0.3% PDB untuk riset, jauh di bawah Malaysia (1.4%) dan Korea Selatan (4.8%) (UNESCO, 2021).
Untuk itulah, bahwa Perguruan tinggi dan dosen adalah jantung transformasi pendidikan Indonesia. Sinergi antara perguruan tinggi dengan pendidikan dasar, menengah atas bukan hanya tentang menyiapkan siswa masuk kampus, tetapi juga membangun ekosistem pendidikan yang saling mendukung. Jika kolaborasi ini diperkuat, Indonesia berpotensi melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tanggap terhadap masalah bangsa. Seperti dikatakan Ki Hajar Dewantara yakni pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Semua tingkat pendidikan harus bersinergi mewujudkan visi ini.
Dan pada akhirnya, reformasi pendidikan harus mengembalikan roh Ki Hajar Dewantara yakni pendidikan yang memanusiakan, membebaskan, dan menjangkau semua kalangan. Masalah pendidikan Indonesia bukan hanya soal teknis, melainkan soal komitmen politik dan kesadaran kolektif. Di Hardiknas ini, mari jadikan semangat Ki Hajar Dewantara sebagai pijakan untuk menciptakan sistem pendidikan yang adil, inklusif, dan mampu menjawab tantangan zaman. Hanya dengan kerja sama semua pihak, Indonesia bisa melompat dari keterpurukan menuju generasi emas 2045.
(tim redaksi)