LIFESTYLE

Jelajah Rasa dan Pesona Alam Sumatera Selatan: Antara Sungai, dan Sejarah

“Sumatera Selatan bukan sekadar tanah tua yang dilintasi Sungai Musi. Ia adalah tempat di mana sejarah menyapa di setiap jembatan, dan cita rasa berbisik di setiap suapan. Di balik piring seruit, terpatri kisah kerajaan, perjuangan, dan cinta tanah air.”

Sumatera Selatan, jantung yang berdetak tenang di pulau Sumatera, bukan hanya soal kuliner atau keindahan alam. Ia adalah lembaran sejarah yang menunggu dibaca kembali. Setiap sungai, bukit, dan dapur rakyatnya menyimpan kisah — tentang masa silam yang gemilang, tentang cinta pada budaya, dan tentang rakyat yang bertahan di antara arus zaman.

1. Palembang: Pempek dan Sriwijaya yang Hilang Tapi Abadi

Di tepian Sungai Musi, berdiri sebuah kota yang usianya lebih tua dari Jakarta atau bahkan Malaka. Di sinilah, pada abad ke-7, lahir Kerajaan Sriwijaya, kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara yang menguasai jalur dagang internasional dan menyebarkan cahaya peradaban Buddha. (Buku Djohan Hanafiah-red)

Konon, di balik aroma pempek yang kini melegenda, ada jejak sejarah yang hampir terlupakan. Di masa Sriwijaya, para pedagang dari Tiongkok dan India kerap bersandar di pelabuhan tua Palembang. Mereka membawa tepung sagu dan ikan asin, yang akhirnya oleh warga lokal diolah menjadi makanan sederhana: cikal bakal pempek. Cuko pun lahir dari racikan rempah-rempah pedas sebagai penghangat tubuh para pelaut yang datang dari jauh.

Kisah kecil 

“Di sebuah rumah rakit tua, seorang nenek masih ingat bagaimana ibunya dahulu membuat pempek tanpa alat modern. Sambil mengaduk adonan dengan tangan, sang ibu bercerita tentang nenek moyangnya yang berdagang dari Sungai Musi hingga ke Semenanjung Malaya. Kini, si nenek duduk sendiri, namun saat cucunya mencocol pempek ke dalam cuko, ia merasa sejarah tidak pernah benar-benar hilang — hanya berpindah dari mulut ke hati.” (Sumber Sejarah Palembang- Buku Djohan-red)

Baca Juga  Istri: Sahabat Jiwa dalam Perjalanan Hidup
2. Sekayu dan Seruit: Tradisi yang Tak Pernah Retak

Di Musi Banyuasin, tradisi bernama seruit hidup turun-temurun. Seruit bukan sekadar makanan — ia adalah lambang persatuan dan semangat musyawarah. Dulu, ketika rakyat berkumpul untuk membahas sawah, jembatan, atau perahu, mereka tak pernah duduk tanpa seruit di tengah-tengah.

Kisah nyata dari tokoh lokal: “Haji Umar, tokoh adat di Sekayu, pernah berkata: ‘Kalau seruit sudah dihidang, semua pertengkaran berhenti. Tak enak rasanya makan sambal tempoyak sambil marah-marah.’”

Seruit telah menjadi penanda harmoni sosial. Dalam masyarakat Musi, makan bersama adalah bentuk ibadah. Dan ketika satu piring seruit dihidangkan, itu berarti hati siap untuk menerima dan memaafkan. (Adat Sumsel-red)

3. Lahat dan Pagaralam: Jejak Batu dan Doa dari Gunung

Kabupaten Lahat menyimpan ribuan batu megalitikum — bukti bahwa manusia telah lama hidup dan berdoa di tanah ini sejak ribuan tahun silam. Ukiran di batu itu menggambarkan manusia, binatang, dan doa. Mungkin, mereka adalah simbol dari kebersamaan antara manusia dan alam, jauh sebelum istilah “ekologi” dikenal dunia.

Di Pagaralam, kisah pejuang dan ulama pun tak kalah menarik. Salah satunya adalah KH. Muhammad Dahlan, seorang ulama yang membawa Islam dan pendidikan ke dataran tinggi, mengajarkan bahwa kopi bukan hanya untuk diminum, tapi bisa jadi sarana dakwah. Beliau biasa mengundang penduduk ngopi sambil mengaji — tradisi ini bertahan hingga kini.

“Di tengah kabut Dempo, seorang pemuda berdiri di kebun kopi peninggalan kakeknya. Ia menemukan Al-Qur’an tua dalam kotak kayu kecil. Tulisan di dalamnya sudah pudar, tapi catatan tangan sang kakek masih terbaca: ‘Kopi dan dakwah, keduanya harus hangat.’” (Berupa Kiasan, sering diungkapkan para penyair)

4. Lubuklinggau: Di Antara Air Terjun

Lubuklinggau dahulu menjadi tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan. Di balik hutan dan sungainya, mereka bersembunyi, menyiapkan perlawanan terhadap kolonial. Banyak gua dan lubuk yang menjadi saksi bisu pelarian para tokoh perjuangan.

Baca Juga  Menyusuri Arus Sungai, Menggali Potensi Wisata Ogan Ilir

“Seorang kakek penjaga air terjun Temam pernah berkata: ‘Di balik batu besar itu, dulu ada pejuang kita bersembunyi. Mereka lapar, tapi tidak takut. Karena bagi mereka, tanah ini lebih berharga daripada nyawa.’”

Kini, tempat itu menjadi wisata. Tapi bagi yang peka, desir airnya masih membawa semangat juang.

5. Ogan dan Banyuasin: Hutan dan Air

Di Ogan Komering Ilir dan Banyuasin, hutan dan danau bukan hanya keindahan, tapi juga sekolah alam. Orang-orang dahulu belajar berburu, bersyair, dan bermusyawarah di tepian sungai.

Danau-danau di sana menyimpan cerita mistis, tapi juga nilai filosofis. Seperti Danau Ulak Lia, yang dipercaya masyarakat sebagai tempat menenangkan jiwa bagi mereka yang gundah.

 “Seorang ibu dan dua anak dari Ogan Ilir, bercerita bahwa saat hatinya galau karena ditinggal suami merantau, ia duduk di tepi danau. Seekor bangau putih terbang rendah, lalu menghilang. Saat itu juga ia merasa Allah sedang menenangkannya. Kini, ia mengajar anak-anak mengaji di rumahnya — karena yakin, ketenangan itu harus dibagikan.”

Rasa yang Mengajarkan

Sumatera Selatan bukan sekadar tempat untuk dikunjungi. Ia adalah kisah yang hidup, rasa yang membentuk jiwa, dan warisan yang perlu dijaga. Dari jejak Sriwijaya yang agung, aroma kopi Dempo yang menyentuh, hingga seruit yang menghangatkan meja makan rakyat — semuanya mengajarkan satu hal: bahwa tanah ini bukan milik kita hari ini saja, tapi juga warisan untuk anak cucu esok hari.

“Jangan hanya datang, tapi dengarkan. Jangan hanya makan, tapi rasakan. Karena Sumatera Selatan bukan sekadar wisata. Ia adalah pelajaran tentang hidup, cinta, dan keberanian menjadi bangsa.”


Editor: Bangun Lubis

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button