Hanya Hakim yang Berwenang Menentukan Dokumen Sah atau Asli

Oleh: Albar Sentosa Subari, Unsri – Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan
Dalam sistem hukum positif di Indonesia, hanya hakim yang memiliki kewenangan untuk menilai dan memutuskan apakah suatu perbuatan hukum sah atau tidak sah, serta apakah suatu dokumen asli atau tidak asli. Wewenang ini tidak dimiliki oleh aparat penegak hukum lain seperti polisi, jaksa, atau advokat.
Hal ini karena pada diri seorang hakim melekat asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), di mana penilaian terhadap seseorang hanya dapat dilakukan melalui proses persidangan yang objektif, terbuka, dan berkeadilan. Dalam proses tersebutlah hakim menilai bukti, mendengar saksi, dan akhirnya memutuskan dengan pertimbangan hukum yang matang.
Dalam teori ilmu hukum modern, hakim berpikir secara objektif, yaitu bergerak dari fakta hukum menuju kesimpulan yang berlandaskan norma hukum. Berbeda dengan penegak hukum lain seperti polisi atau jaksa yang berpikir dari asumsi subjektif, karena mereka berangkat dari keyakinan awal terhadap dugaan pelaku. Sementara advokat berpikir dari subjektif menuju subjektif, dengan posisi membela kliennya seolah-olah tidak bersalah.
Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh pernyataan Kapolda Metro Jaya dalam konferensi pers yang menetapkan delapan tersangka dalam kasus ijazah Presiden Joko Widodo. Sebagai pengamat hukum dan mantan advokat era 1980-an, saya menilai pernyataan Kapolda yang menyimpulkan bahwa “ijazah Jokowi adalah sah atau asli” telah melampaui kewenangan.
Seyogianya, sebagai aparat penegak hukum, cukup menyampaikan siapa saja yang telah ditetapkan sebagai tersangka tanpa menyimpulkan keabsahan objek perkara. Sebab, penilaian terhadap keaslian dokumen adalah ranah pengadilan, bukan kewenangan kepolisian. Soal terbukti atau tidaknya sesuatu, hanya dapat diputuskan melalui proses persidangan.
Memang, dari sisi non-hukum — terutama dalam pembentukan opini publik — pernyataan seperti itu bisa memiliki makna politis. Namun dari sisi hukum murni, harus tetap dijaga batas-batas kewenangan antar-lembaga.
Adapun delapan tersangka dalam kasus tersebut terbagi dalam dua klaster:
Klaster pertama terdiri dari lima orang, yakni Eggy Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Damai Hari Lubis, Rustam Effendi, dan Muhammad Rijal Fadiesa. Mereka disangkakan melanggar Pasal 310 atau 311 dan/atau Pasal 360 KUHP, serta Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (4) dan (6) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Klaster kedua terdiri dari tiga orang, yakni Roy Suryo, Rismon Hasiolan Sianipar, dan Dr. Tifa, yang dikenakan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2024, serta Pasal 35 jo. Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Perlu diketahui pula bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024, pemerintah, instansi, atau lembaga tidak dapat menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik. Artinya, pelaporan semacam itu hanya dapat dilakukan oleh pihak yang secara langsung dirugikan secara pribadi.
Dalam konteks ini, perlu pula diuji apakah pelaporan dilakukan atas nama pribadi atau institusi, serta apakah menyangkut kepentingan publik atau hanya masalah pribadi. Semua itu hanya dapat dipastikan oleh hakim yang profesional, proporsional, dan independen melalui proses peradilan.
Kita berharap proses hukum ini berjalan secara terbuka dan adil, agar kebenaran hukum dapat terungkap secara terang benderang, serta masyarakat memperoleh kejelasan hukum yang sesungguhnya.



