EKONOMINASIONALPALEMBANGSUMSEL

Ancaman Krisis Pangan: Food Estate dan Strategi Ketahanan Pangan Lokal

BritaBrita.com,Palembang-Pandemi COVID-19 telah mengubah tata kelola ketersediaan pangan dunia, termasuk Indonesia. Para menteri negara anggota G20 dalam pertemuan di Italia, Selasa (29/6), menyerukan perlunya peningkatan upaya yang sangat signifikan untuk menangani penyebab utama kerentanan pangan yang berpangkal pada masalah kemiskinan, kemampuan produksi, hingga logistik.

“Pandemi telah menciptakan situasi yang lebih sulit bagi upaya menciptakan ketahanan pangan,” kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dalam pernyataan pembukaannya di pertemuan itu.

“jika tidak segera diatasi, maka akan menciptakan masalah kesehatan dan harapan hidup.” tambahnya.

Sementara, Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) dalam laporannya tahun lalu, telah mengingatkan potensi terjadinya krisis pangan akibat terganggunya ketersediaan, stabilitas, dan
akses pangan khususnya bagi masyarakat rentan secara ekonomi dan geografi.

Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia merespons hal itu dengan menyusun konsep pengembangan pangan yang
terintegrasi dengan pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan yang disebut dengan program lumbung pangan nasional atau food estate.

Akan tetapi, para pegiat lingkungan dan pakar gizi merespons pemerintah sebaliknya. Menurutnya, food estate harus difokuskan pada pola distribusi dan produksi pertanian yang tepat bagi kebutuhan masyarakat di tingkat pusat hingga lokal.

Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, menilai respons pemerintah tidak tepat dalam menjawab kekhawatiran krisis pangan melalui food estate.

“Permasalahan terletak pada distribusi dan pemasaran produk pertanian akibat pandemi, bukan ketersediaanya. Justru kekhawatiran dari banyak pihak semakin besar mengingat hal ini akan mengulang kegagalan banyak program food estate masa lalu, apalagi di Kalimantan Tengah yang menggunakan lahan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG),” kata Iola.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo mengatakan telah menyiapkan anggaran sebesar Rp.104,2 triliun
untuk sektor ketahanan pangan pada 2021, yang di dalamnya termasuk untuk proyek food estate.

Anggaran bakal dialokasikan ke sejumlah Kementerian dan Lembaga (K/L), di antaranya Rp34,3 triliun untuk Kementerian Pekerjaan dan Perumahan Rakyat (PUPR), Rp21,8 triliun untuk Kementerian Pertanian, dan Rp6,7 triliun untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Pekan lalu, DPR RI meminta pemerintah untuk mengevaluasi proyek yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 ini lantaran berpotensi terjadi tumpang tindih anggaran juga
target produksi yang tidak terukur.

Tahun 2020, pemerintah memulai proyek food estate pada lahan bekas pengembangan lahan gambut (PLG) seluas 30.000 hektare dari target 770.6601 hektare di dua kabupaten di Kalimantan
Tengah, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas.

Usulan program lumbung pangan ini bukan yang pertama kalinya muncul. Pada era pemerintahan sebelumnya. Ide mengalihfungsikan lahan berskala besar untuk mendukung ketahanan pangan
juga pernah dicetuskan, namun tidak ada satupun program yang berhasil.

Kegagalan itu tercermin dalam program yang dilakukan pada zaman Orde Baru, ketika 1,4 juta hektare gambut di Kalimantan Tengah dialihfungsikan menjadi sawah, kata Iola.

“Proyek ini gagal karena kondisi tanah yang tidak cocok dengan jenis tanamannya. Selain itu, praktik pengeringan lahan gambut dengan pembukaan kanal-kanal besar menyebabkan terjadinya
lahan gambut menjadi rusak dan kehilangan fungsinya sebagai tandon air,” katanya.

Tandon air gambut memiliki fungsi penting untuk menyerap air saat musim hujan dan
melepaskannya secara perlahan ke aliran di sekitarnya pada musim kering.

Program yang juga menyasar pada pembukaan gambut berisiko menimbulkan bahaya lingkungan jangka panjang seperti kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asam saat kemarau, banjir saat musim penghujan, hingga efek pelepasan emisi karbon yang memperparah pemanasan global.

“Saya melihat transparansi dalam hal ini penting untuk dilakukan pemerintah, karena kebijakan istimewa seperti program food estate sebagai salah satu program strategis nasional membutuhkan pengawalan dari masyarakat. Terutama karena pemulihan dan perlindungan lahan gambut merupakan bagian penting dari upaya berkelanjutan dalam menahan laju pemanasan global.

Selain itu, kebijakan pembukaan lahan yang istimewa seperti ini juga rentan menyebabkan konflik masyarakat akibat perampasan lahan,” tambahnya.

Kegagalan sama juga terjadi dalam program pencetakan sawah pada era Presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono yang menyasar 1,2 juta hektar hutan di Merauke, Provinsi Papua.

Berbagai macam izin usaha pengelolaan lahan dikeluarkan pemerintah, termasuk untuk perkebunan tebu dan kelapa sawit.

Pelaksanaan program ini menuai protes akibat sejumlah masalah sosial, ekonomi dan lingkungan yang terjadi, termasuk perlawanan dari masyarakat adat.

Bustar Maitar, pendiri dan CEO Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa Foundation), mengatakan hal yang perlu dipastikan adalah bagaimana pemerintah dalam hal pengembangan produksi pangan tidak perlu merusak ekosistem yang ada.

“Yang terjadi di Merauke, sampai hari ini, estate-nya tidak jadi-jadi. Tapi, penebangan hutannya terus berlangsung dengan alasan pengembangan food estate. Padahal cara yang dapat dilakukan di Papua bisa melalui intensifikasi pada lahan sawah daerah transmigran yang dapat dimaksimalkan produktivitasnya dan tidak harus membuka lahan baru,” kata Bustar.

Bustar mengatakan, pemerintah tidak harus mengalihfungsikan lahan dalam jumlah besar dalam mengejar ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan dapat didorong melalui pemberian dukungan bagi area-area pada level komunitas terkecil seperti perkampungan. Dengan begitu, masyarakat bisa memproduksi pangannya sendiri dan sejalan dengan mitigasi dampak krisis
seperti pada pandemi.

“Potensi pangan lokal tetap harus dijaga. Adalah sebuah kecelakaan Ketika membuat food estate hutan sagu dibabat misalnya, seperti yang terjadi di Papua. Food estate seharusnya mengunggulkan kemandirian, kalau masyarakat tidak bisa produksi sendiri, ya tidak ada kemandirian,” kata Bustar.

Pihaknya mencontohkan program kemandirian pangan yang dilakukan EcoNusa di tiga perkampungan di Maluku Utara; Gane, Posi-posi, dan Samo, pada 2018. Masyarakat di tiga kampung tersebut sudah dua dekade meninggalkan kebiasaan bercocok tanam padi karena mengandalkan pasokan beras yang dikirim dari wilayah lain.

“2019 awal kita ajak mereka berpikir untuk menanam padi. Mulai kita cari bibit varietas lokal tapi di kampung itu tidak ada, karena mereka sudah 20 tahun lebih tidak tanam padi. Akhirnya dapat dari kampung lain. Kita mulai tanam padi ladang pertengahan 2019 dan berhasil panen pada akhir tahun sekitar 50 ton gabah di masing-masing kampung. Maret 2020, saat pandemi terjadi, transportasi tidak masuk untuk distribusi logistik. Tapi masyarakat merasa aman karena mereka punya cadangan pangan yang kuat,” tutur Bustar.

Definisi FAO empat aspek ketahanan pangan, yaitu 1) ketersediaan bahan pangan berkulitas dalam jumlah yang mencukupi, 2) akses individu atas sumber pendapatan yang memadai untuk mendapatkan makanan bernutrisi, 3) pemanfaatan atas bahan pangan melalui diet yang memadai,
air bersih, sanitasi dan penjagaan kesehatan, dan 4) stabilitas, dimana individu, populasi dan rumah tangga bisa mendapatkan akses atas bahan pangan memadai setiap waktu.

Food & Nutrition Scientist, Mulia Nurhasan menambahkan dua aspek ketahanan pangan baru yang diusulkan para pakar ketahanan pangan dan gizi dalam High level panel of experts on food security
and nutrition (HLPE) 2020, yakni sustainability (keberlanjutan) dan agency (keberdayaan).

Mulia mengatakan keberdayaan masyarakat dalam ketahanan pangan sangat penting untuk memastikan pemenuhan hak-hak masyarakat lokal dalam mengembangkan sistem pangannya sendiri.

“Konsep food estate tidak dapat menjamin aspek ketahanan pangan dari segi aksesibilitas dan kebermanfaatan, karena akses terhadap pangan beragam yang kaya akan zat gizi Dan mikro bagi masyarakat lokal di tempat food estate digarap, bisa jadi malah terhambat. Apalagi dalam menjamin dua aspek ketahanan pangan tambahan, yaitu keberlanjutan dan keberdayaan.” kata
Mulia.

Mulia menambahkan, selain karena kecenderungan terhadap satu atau beberapa komoditas tertentu, food estate juga mendorong terjadinya pembukaan lahan yang besar-besaran.

“Ada resiko penurunan asupan gizi dari makanan yang dikonsumsi masyarakat lokal, yang biasanya mudah di akses dari hutan dan lingkungan sekitar mereka,” tambahnya.Beberapa hasil studi Center for International Forestry Research (CIFOR) menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di perhutanan lebih banyak mengkonsumsi sayur, dan ikan, sementara
untuk daerah dengan deforestasi tinggi lebih banyak konsumsi pangan olahan dan minuman manis

“Tingginya konsumsi pangan olahan, khususnya pangan ultra-proses dan minuman manis dapat menyebabkan naiknya angka penyakit tidak menular, seperti diabetes, darah tinggi, stroke, dan
lainnya,” jelasnya.

Oleh karenanya, program ketahanan pangan dan gizi harus memiliki kesesuaian dengan kebutuhan dan potensi pangan dan gizi di tiap-tiap wilayah, sehingga mampu menjaga keberlanjutan produksi lokal.

“Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan pangan yang top
down, sekaligus menghindari fokus yang berlebihan pada produksi beras. Kebijakan pangan yang mempertimbangkan keberdayaan masyarakat lokal dan mengedepankan desentralisasi sistem
pangan, bisa meningkatkan ketahanan pangan dan gizi secara berkelanjutan,” tutup Mulia. (**)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button