NASIONALOPINI

Bebas Stunting Kah Keluarga Petani?

Persentase stunting Indonesia lebih tinggi dibanding sejumlah negara Asia Tenggara

Ditulis oleh : Nico Syahputra Sebayang

( Mahasiswa Doktor Ilmu Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang )


Permasalahan gizi dialami oleh setiap negara, termasuk Indonesia yang memiliki triple permasalahan gizi (stunting, wasting dan overweight). Stunting merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia.

Persentase stunting Indonesia lebih tinggi dibanding sejumlah negara Asia Tenggara seperti Vietnam (23), Filipina (20), Malaysia (17), dan Thailand (16). WHO menempatkan status Indonesia berada di urutan keempat dunia dan urutan kedua di Asia Tenggara terkait jumlah balita stunting (Sutawi,2022).

Sementara di Indonesia pravalensi anak berusia 0โ€“59 bulan mengalami stunting sebesar 30,8% di Aceh; 22,8% di Sumatera Selatan dan Jawa Timur 26,91 %.

Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak (Amiruddin et al. 2021) serta menyebabkan organ tubuh tidak tumbuh dan berkembang secara optimal yang diakibatkan kekurangan gizi dalam waktu yang lama yang terjadi pada anak di bawah 5 tahun lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.

Indikator stunting ditunjukkan dengan skor Z tinggi badan menurut usia (TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD). Beberapa penyebab stunting adalah faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak (Amiruddin et al. 2021)

Terutama apabila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik pada anak di bawah 5 Tahun. Selain itu, Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak.

Akar masalah stunting adalah kemiskinan yang kemudian berdampak negatif terhadap pendidikan dan kesehatan. Kasus stunting banyak ditemukan di daerah dengan kemiskinan tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah. Selain faktor kemiskinan dan pendidikan, stunting juga diperparah oleh fenomena salah gizi (misnutrisi) penduduk Indonesia.

Salah satu indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Konsep ini secara sederhana menggambarkan daya beli pendapatan petani. Angka NTP lebih besar dari 100 menunjukkan kondisi petani mengalami surplus, sedangkan bila kurang dari 100 artinya petani mengalami defisit.

Semakin besar surplusnya, maka kesejahteraan (dayabeli) petani semakin meningkat. BPS (2022) mencatat angka NTP (Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan) menurun dari 101,72 (2019), 100,34 (2020), 98,21 (2021), menjadi 97,90 (Agustus 2022).

ยน111Angka NTPP tersebut membuktikan bahwa kesejahteraan petani padi semakin menurun (Sutawi,2022).

Rendahnya kesejahteraan petani padi juga bisa dilihat dari pendapatannya. Survei BPS tentang Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017 (SOUT Padi 2017) mencatat pendapatan petani hanya sebesar Rp 4,95 juta per musim tanam per hektare atau Rp 1,23 juta per bulan. Survei BPS juga menyebutkan sebanyak 57,97 persen petani hanya memiliki lahan di bawah 0,1 hektare dan 29,47 persen petani memiliki 0,1 sampai 0,49 hektare. Ini berarti sebanyak 87,44 persen petani padi Indonesia hanya berpenghasilan antara Rp 123 ribu sampai Rp 615 ribu per bulan.

Pendapatan tersebut jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) di Indonesia antara Rp 1,765 juta sampai 4,276 juta/bulan dan garis kemiskinan Rp 454.652 per kapita per bulan.
Penurunan pendapatan mengakibatkan petani tidak mampu mengimbangi kebutuhan sosial ekonomi rumah tangga yang terus meningkat, sehingga terjerumus dalam perangkap kemiskinan (poverty trap).

Perangkap kemiskinan merupakan sistem ekonomi yang sangat menyulitkan masyarakat petani keluar dari lingkaran kemiskinan karena rendahnya pendapatan. BPS mencatat jumlah rumah tangga miskin di Indonesia tahun 2020 sebagian besar (46,30 persen) berpengasilan utama berasal dari sektor pertanian.

Tak heran jika pertanian semakin ditinggalkan generasi muda milenial karena merupakan lambang kemiskinan berkelanjutan.

Pemenuhan pangan merupakan bagian hak azasi manusia yang dijamin UUD 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut data Global Food Security Index (GFSI) indeks ketahanan pangan Indonesia tahun 2021 mencapai level 59,2, menurun dari 61,5 tahun 2020.

Indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia tahun 2021 berada di peringkat ke-69 dari 113 negara. Dalam peta peringkat ada empat kategori: best performance, good performance, moderat performance dan neeeds improvement. Indonesia masuk dalam kategori ketiga moderate performance.

BPS (2021) mencatat pengeluaran penduduk Indonesia sebesar Rp1.225.685 per kapita per bulan, di mana sebanyak Rp603.236 (49,22%) digunakan untuk pengeluaran makanan dan Rp622.449 (50,78%) untuk pengeluaran bukan makanan. Semakin meningkat harga pangan, maka garis kemiskinan dan angka kemiskinan semakin meningkat.

BPS (2021) mencatat angka kemiskinan prapandemi pada September 2019 sebesar 24,78 juta orang (9,22%) meningkat menjadi 27,55 juta orang (10,19%) pada September 2020 dan 26,50 juta orang (9,71%) pada September 2021.

Menurut BPS (2020) pengeluaran rata- rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp 572.551. Pengeluaran tersebut digunakan untuk membeli rokok Rp 70.537 (12,32%), mengalahkan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan pangan seperti beras Rp 64.961 (11,35%), ikan Rp 45.304 (7,91%), telur dan susu Rp 32.435 (5,67%), dan daging Rp 24.783 (4,33%).

Pengeluaran rokok keluarga miskin setara dengan sepertiga pengeluaran untuk makan sehari-hari dan 2,5 kali lebih besar dari tagihan listrik. Fakta tersebut membuktikan bahwa penduduk Indonesia, terutama keluarga miskin, lebih mengutamakan racun nikotin rokok penyebab penyakit jantung, paru-paru, kanker, dan gangguan kehamilan dan janin itu daripada protein hewani yang menyehatkan badan dan mencerdaskan otak anggota keluarganya.

Pembelian rokok oleh kepala rumah tangga berdampak terhadap berkurangnya pengeluaran rumah tangga untuk makanan, pendidikan, dan kesehatan. Dengan pendapatan per kapita tahun 2020 hanya sebesar US$ 3.870. (Rp 4,5 juta/bulan), seharusnya kepala rumah tangga lebih memilih menambah konsumsi protein hewani daripada nikotin rokok.

Menurut data Survey Susenas Maret 2020 komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada GK, baik di perkotaan maupun di perdesaan, pada umumnya hampir sama. Beras masih memberi sumbangan terbesar yakni sebesar 20,22 persen di perkotaan dan 25,31 persen di perdesaan.

Rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap GK (12,16 persen di perkotaan dan 10,98 persen di perdesaan).

Konsumsi protein penduduk Indonesia sebesar 62,19 g/orang/hari, terdiri protein nabati 46,41 g (74,63%) dan hewani 15,78 g (25,37%) yang berasal dari ikan 8,23 g, daging 4,2 g, dan telur dan susu 3,35 g. Konsumsi protein hewani tersebut masih tergolong rendah dan berada di bawah konsumi protein hewani Thailand dan Filipina antara 40-50 g, dan Malaysia dan Brunei Darusalam sekitar 50-60 g.

Rendahnya konsumsi protein hewani merupakan salah satu faktor pemacu tingginya angka prevalensi stunting di Indonesia.

Jika berbicara mengenai kemiskinan pada rumah tangga petani Indonesia tentu saja tidak jauh โ€“ jauh dari rendahnya pendidikan dan keterampilan masyarakat setempat.Tidak hanya itu, faktor lain yang menyebabkan petani di Indonesia miskin adalah skala usahanya yang masih kecil.

Khususnya di Pulau Jawa, rata-rata kepemilikan lahan dibawah setengah hektar sehingga yang demikian tersebut membuat mereka kesulitan untuk mengusahakan lahannya ditingkat yang menguntungkan.

Selain itu, kesulitan dalam mengadopsi teknologi terkini juga menjadi faktor tani di Indonesia ada digaris kemiskinan. Dengan rendah nya pendidikan dan kesejahteraan petani, dapat di pastikan bahwa keluarga petani mengalami kejadian stunting.(*)

 

7 Comments

  1. Semoga Indonesia bisa menurunkan permasalahan gizi khususx stunting di kalangan petani yg notabene merupakan pejuang pangan kita. Sudah seharusnya mrk menghidupi keluarganya secara layak dan lebih sejahtera. Tetap semangat melawan stunting. Lakukan perubahan sekecil apapun di lingkungan kita berada. Pasti BISA…..๐Ÿ’ช๐Ÿ’ช

  2. Semoga semua lini/stake holder lebih concern lagi dalam menangani kejadian stunting, agar dapat mencapai target nasional 14% dalam mengurangi kejadian stunting. Terkhusus d Sumatera Selatan

Leave a Reply to Rohmatin Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button