Dunning Krueger Effect: Tong Kosong Nyaring Bunyinya

Ditulis oleh: Dr. Eng. Saiful Anwar SE. Ak., M.Si. CA
Wakil Rektor Bidang Akademik ITB Ahmad Dahlan Jakarta,
Akademisi dan Profesional Di Bidang Keuangan & Perbankan Syariah
———————————————-
Di ruang makan, di ruang rapat, di kolom komentar media sosial, suara paling lantang seringkali datang dari mereka yang paling yakin. Keyakinan itu terasa meyakinkan karena disampaikan dengan tegas, tetapi tidak selalu berdasar. Dalam psikologi modern, fenomena ini dikenal sebagai Dunning Krueger Effect, yaitu kecenderungan di mana orang yang minim kompetensi cenderung melebih-lebihkan pemahamannya, sementara mereka yang benar-benar paham cenderung lebih berhati-hati. Pepatah kita, “tong kosong nyaring bunyinya”, menangkap realitas ini dengan tepat karena ketidaktahuan yang tidak disadari seringkali lebih berisik dibandingkan pengetahuan yang matang.
Orang-orang dengan kecenderungan seperti ini biasanya memiliki ciri yang mudah dikenali. Logika yang dipakai sering melompat-lompat, meloncat dari satu kesimpulan ke kesimpulan lain tanpa dasar yang kuat. Mereka cenderung tidak kolaboratif, karena lebih suka menang sendiri ketimbang mencari solusi bersama. Gaya komunikasinya win-lose, menjatuhkan lawan bicara agar dirinya terlihat lebih benar. Dan hampir selalu, prioritas utamanya adalah penyelamatan diri ketika keadaan memburuk, bukan keberhasilan tim atau kelompok.
Dampaknya terasa dalam berbagai situasi sehari-hari. Di lingkungan kerja, misalnya, rapat yang seharusnya menghasilkan keputusan malah berubah menjadi arena adu ego. Di ranah publik, narasi yang salah cepat tersebar karena suara lantang lebih dulu terdengar daripada argumen matang. Di media sosial, perdebatan mudah berakhir dengan saling serang karena pemahaman dangkal sudah dibungkus dengan keyakinan seolah-olah final.
Sejarah memberi kita contoh bagaimana overconfidence yang tidak berlandaskan pengetahuan dapat menimbulkan konsekuensi besar. Ketika Galileo menyatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, penolakan keras muncul bukan karena ada bukti yang menentangnya, melainkan karena kerangka berpikir yang tertutup. Otoritas ilmiah dan kebiasaan lama menutupi fakta baru sehingga suara penentang terdengar lebih nyaring. Pelajaran sejenis juga muncul dalam tradisi Islam. Pada Perang Uhud, perintah strategis agar pemanah tetap bertahan di posisi tertentu dilanggar oleh sebagian pasukan ketika mereka merasa kemenangan telah diraih. Keyakinan yang berlebihan tanpa verifikasi lapangan itu membuka celah yang berakibat pada kekalahan, sebuah gambaran nyata tentang bahaya keputusan tergesa-gesa.
Contoh kontemporer yang keras dan memilukan dapat kita lihat pada peristiwa Mei 1998. Dalam suasana krisis ekonomi dan politik, rumor dan penyederhanaan penyebab menyebar cepat di masyarakat. Tidak sedikit toko milik warga keturunan Tionghoa menjadi sasaran penjarahan dan pembakaran, sementara kekerasan di beberapa tempat menimbulkan korban jiwa dan luka serius. Peristiwa itu diperparah oleh kabar yang sering belum terverifikasi sehingga narasi publik cepat mempolarisasi. Keputusan kolektif yang didorong oleh ketidakpastian dan rumor memperburuk situasi hingga sulit dikendalikan. Kasus ini memperlihatkan bagaimana klaim yang disuarakan dengan nada pasti, padahal didasari pemahaman dangkal atau informasi setengah benar, dapat memperbesar krisis nyata di lapangan.
Mengapa fenomena ini terus muncul? Pada intinya, orang dengan pemahaman terbatas sering tidak menyadari batasannya sendiri. Tanpa kesadaran itu, mereka tidak tahu apa saja yang belum mereka ketahui sehingga mudah merasa yakin. Sebaliknya, orang yang memiliki pengetahuan lebih luas cenderung menyadari kompleksitas masalah sehingga berbicara dengan hati-hati dan penuh pertimbangan.
Kerugian dari sikap “tong kosong nyaring bunyinya” tidak hanya merusak kualitas diskusi, tetapi juga merugikan pelakunya sendiri. Orang dengan karakter seperti ini bisa menambah jumlah “penjegal” karier di masa depan, karena rekan kerja atau atasan akan mengingat sikap yang menjatuhkan. Lebih jauh lagi, mereka berisiko kehilangan dukungan sosial. Saat menghadapi kesulitan, jumlah orang yang mau membantu biasanya berkurang drastis, sebab banyak yang sudah pernah terluka oleh perilaku yang egois dan tidak kolaboratif.
Agar kita tidak terjebak menjadi bagian dari “tong kosong” itu, ada beberapa kebiasaan praktis yang bisa dijalankan. Pertama, latih kebiasaan mendengar secara aktif karena mendengar adalah langkah awal verifikasi. Kedua, biasakan tabayyun, yaitu memeriksa sumber, menanyakan konteks, dan membandingkan data sebelum menyebarkan atau mengambil kesimpulan. Ketiga, tahan diri sebelum meninggalkan komentar publik karena informasi yang cepat tersebar sering kali lebih sulit ditarik kembali. Keempat, pelihara kerendahan hati intelektual karena semakin kita belajar, seharusnya semakin sadar akan besarnya wilayah yang belum kita pahami.
Dengan menaruh perhatian pada kebiasaan-kebiasaan sederhana itu, kita memberi ruang bagi diskusi yang lebih sehat dan keputusan yang lebih bijak. Di zaman informasi yang mengalir deras, kualitas percakapan publik sangat bergantung pada kemampuan individu untuk mengakui ketidaktahuan dan berusaha memahami lebih dalam sebelum bersuara. Sikap seperti ini tidak menghambat diskusi, melainkan memperkaya diskusi sehingga menghasilkan solusi yang lebih rasional.
Seperti kata Imam Syafi’i, “Diam itu lebih baik daripada berbicara tanpa ilmu.” Mungkin inilah antidot terbaik bagi Dunning Krueger Effect dalam kehidupan kita. Menahan diri untuk tidak segera bicara ketika belum paham bukanlah tanda kelemahan, tetapi bentuk tanggung jawab intelektual yang menyehatkan ruang publik.
_Wallahu’alam bissahwab_