PENDIDIKAN

Dunia Pendidikan Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Dunia Pendidikan Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Oleh: Albar Sentosa Subari – Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya Sumatera Selatan

 

Dunia pendidikan Indonesia, di usia kemerdekaan bangsa yang ke-80 tahun, sedang tidak baik-baik saja. Selama sepuluh bulan terakhir, kita disuguhkan berbagai peristiwa yang memilukan hati, datang silih berganti dari berbagai daerah di Nusantara. Baik melalui media massa, media sosial, maupun pemberitaan elektronik, semua menunjukkan ada yang perlu kita renungkan lebih dalam tentang arah dan jati diri pendidikan nasional kita.

 

Salah satu peristiwa yang cukup menyita perhatian publik adalah terjadinya **keracunan massal pada siswa** setelah menyantap menu makanan dari program MBG. Kejadian ini bukan sekadar soal teknis kebersihan atau distribusi makanan, melainkan juga menyangkut sistem pengawasan, tanggung jawab moral, dan keamanan lingkungan belajar bagi anak-anak bangsa.

 

Belum selesai dengan kasus itu, muncul lagi **penonaktifan kepala sekolah** di beberapa kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan. Seorang kepala sekolah sempat dinonaktifkan hanya karena menegur anak seorang pejabat. Peristiwa ini sempat viral dan memancing pro dan kontra di tengah masyarakat.

Tak berhenti di situ. Kita juga menyaksikan **unjuk rasa oleh para siswa** yang menuntut pelengseran kepala sekolah. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana arus informasi dan tekanan sosial dari media bisa dengan mudah membentuk opini publik—bahkan di kalangan pelajar yang sejatinya tengah berada dalam proses pembentukan karakter dan kepribadian.

Baca Juga  Para Pelajar Diingatkan Harus Jauhi Judol, Pinjol dan Narkoba

Yang lebih memilukan, muncul pula **kasus penganiayaan sesama siswa** di Sumatera Selatan. Tragisnya, teman-teman di sekitar lokasi kejadian hanya menonton, bahkan ada yang memvideokan peristiwa tersebut tanpa empati. Ini bukan sekadar masalah disiplin, tapi juga cerminan merosotnya rasa solidaritas dan kepedulian sosial di kalangan pelajar.

Kasus lainnya datang dari Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, tepatnya di SMA Negeri 1 Cimarga. Seorang kepala sekolah dinonaktifkan karena menegur siswa yang tertangkap merokok. Ironisnya, para siswa justru melakukan aksi mogok sekolah menuntut kepala sekolah tersebut dicopot. Padahal, tindakan kepala sekolah tersebut merupakan bentuk tanggung jawab untuk mendidik dan mendisiplinkan anak didik. Untungnya, setelah viral, banyak pihak yang justru memberi dukungan terhadap kepala sekolah itu dan ia pun dikembalikan ke posisinya.

Namun, luka moral belum sembuh ketika muncul fakta bahwa **ada oknum guru** yang justru memanfaatkan situasi dengan menjelek-jelekkan pimpinan, bahkan diduga ikut memprovokasi siswa untuk mogok. Situasi ini menunjukkan betapa rapuhnya wibawa lembaga pendidikan jika nilai-nilai dasar moral dan etika telah terkikis.

Dari berbagai contoh tersebut, setidaknya kita dapat menarik beberapa pelajaran penting:

1. Tekanan media sosial sangat dahsyat. Slogan “*No Viral No Justice*” seolah menjadi hukum sosial baru yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan publik.

2. Pers terbukti sebagai salah satu pilar penting demokrasi. Seperti diungkapkan oleh Fahri Ali, “Pers adalah Soko Guru Demokrasi.” Namun, bila tak disertai kebijaksanaan, arus informasi juga dapat menimbulkan tekanan sosial yang tidak proporsional.

Baca Juga  (Tak Ingin Beretorika) Membangun Sistem Terpadu dan Mental Anti-Korupsi sebagai Fondasi Peradaban Bangsa

3. Terjadi kesalahan makna solidaritas di kalangan pelajar. Apa yang terjadi di Cimarga menunjukkan bagaimana solidaritas bisa keliru dimaknai jika tidak disertai nilai moral dan etika yang benar.

Melihat situasi ini, perlu ada langkah serius untuk mengembalikan pendidikan pada rohnya, yaitu membentuk manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan cerdas. Bukan sekadar cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter kuat.

Salah satu langkah strategis adalah menghidupkan kembali pendidikan ideologi Pancasila sejak usia dini hingga perguruan tinggi. Sejalan dengan rencana Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), nilai-nilai Pancasila perlu disosialisasikan kembali secara sistematis dan kontekstual di tengah masyarakat.

Pendidikan di Indonesia, sejak era reformasi, cenderung lebih menitikberatkan pada pencapaian intelektual semata. Logika diasah, prestasi akademik dikejar, tetapi **pendidikan karakter, budi pekerti, dan ideologi bangsa seringkali tersisih**. Padahal, para pendiri bangsa telah menegaskan bahwa pendidikan nasional harus membentuk manusia Indonesia seutuhnya — manusia yang cerdas, bermoral, beriman, dan memiliki kepribadian kuat sebagai warga negara.

Inilah saatnya kita kembali menata dunia pendidikan. Bukan hanya dengan kurikulum dan teknologi, tetapi dengan **menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara**. Karena masa depan Indonesia ada di tangan generasi yang bukan hanya cerdas berpikir, tetapi juga kuat dalam hati .

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button