NASIONAL

Pembangunan Tersandera Korupsi: Luka Sosial yang Menganga

Membangun Harusnya, Tanpa Merampas Harapan

Penulis: Ir. Salamah Syahabudin, M.P. – Pemerhati Kebijakan Publik

Pembangunan di sebuah negara ibarat jembatan yang seharusnya menghubungkan rakyat dengan kesejahteraan.

Namun, di Indonesia, jembatan itu sering kali retak bahkan berlubang — bukan karena hujan atau usia, melainkan karena “tangan-tangan” yang terlalu rajin mengorek dana pembangunan. Ironisnya, tangan-tangan ini bukan tangan asing; mereka justru sering berasal dari lingkaran yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan rakyat.

Setiap tahun, anggaran pembangunan disusun dengan niat mulia: membangun infrastruktur, membuka lapangan kerja, dan mengurangi kesenjangan. Namun, seperti kisah lama yang berulang, sebagian dana kerap “tersesat” di jalan.

Entah bagaimana, jumlahnya menyusut sebelum sampai ke tujuan. Barangkali dana itu terlalu lelah menempuh perjalanan panjang melewati berbagai meja.

Korupsi bukan hanya soal uang yang hilang, tapi juga soal harapan yang dicuri. Dana yang seharusnya menjadi jantung pembangunan, sering kali berhenti berdenyut di tengah jalan.

Akibatnya, sekolah yang diharapkan menjadi tempat anak-anak belajar dengan nyaman hanya berdiri setengah jadi. Puskesmas yang direncanakan megah berubah menjadi bangunan seadanya. Jalan yang seharusnya mulus malah cepat berlubang — seolah menjerit minta perhatian.

Yang lebih menarik, penyakit ini tidak berhenti di pusat. Ia menyebar pelan namun pasti ke pelosok desa. Alokasi anggaran desa yang mestinya menjadi penopang kesejahteraan masyarakat, sering kali “dipotong” di sana-sini.

Transparansi menjadi slogan, bukan kebiasaan. Rakyat menunggu manfaat, sementara oknum tertentu sibuk menghitung keuntungan.

Lalu, apakah dengan semua ini negeri ini baik-baik saja? Tentu saja bisa saja dikatakan demikian… jika yang dilihat hanya laporan, bukan kenyataan di lapangan. Luka sosial tidak selalu tampak pada grafik ekonomi, tapi terasa pada ketimpangan yang semakin melebar, pada rasa percaya publik yang pelan-pelan hilang, dan pada budaya “maklum” terhadap praktik yang seharusnya tidak dimaklumi.

Korupsi, pelan tapi pasti, membuat jurang antara si kaya dan si miskin semakin dalam. Sebagian kecil orang hidup nyaman di atas tumpukan fasilitas, sementara sebagian besar lainnya berjuang di pinggir jalan pembangunan. Ketimpangan ini bukan sekadar angka statistik; ia adalah potret bagaimana sebuah bangsa bisa kehilangan arah ketika moral kejujuran tergadaikan.

Memberantas korupsi tentu bukan perkara mudah. Tapi bukan berarti mustahil. Penegakan hukum harus dijalankan dengan konsisten — bukan sekadar sebagai tontonan musiman. Transparansi anggaran mesti menjadi budaya, bukan jargon politik. Masyarakat perlu dilibatkan dalam pengawasan, bukan hanya dijadikan penonton.

Baca Juga  DPRD Sumsel Bahas 3 Rancangan Raperda Strategi Usulan Pemprov

Pendidikan antikorupsi sejak dini menjadi langkah penting. Anak-anak perlu belajar bahwa kejujuran bukan kelemahan, melainkan fondasi sebuah bangsa besar. Dan tentu saja, reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh akan menjadi pagar kokoh, bukan pagar hiasan yang mudah diterobos.

Korupsi adalah musuh yang tidak berseragam, tapi bekerja rapi. Ia tidak selalu datang dengan wajah garang, kadang justru dengan senyum dan tanda tangan. Karena itu, melawannya tidak cukup hanya dengan kemarahan, tapi dengan keteguhan sistem dan kesadaran kolektif.

Selama praktik ini dibiarkan tumbuh, pembangunan akan terus tersandera. Namun, jika keberanian, integritas, dan ketegasan mulai berjalan beriringan, luka sosial ini bukan tidak mungkin bisa sembuh perlahan.

Dan ketika hukum dunia mungkin luput atau terlambat menindak, ada hukum langit yang tidak pernah lalai. Dalam setiap rupiah yang dikorupsi, ada hak rakyat yang digenggam, dan di sana pula keadilan Ilahi akan berbicara.

Bangsa ini layak mendapat pembangunan yang jujur — sebab pembangunan sejati tidak hanya menguatkan jembatan fisik, tetapi juga membangun moral bangsa.

 

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button