REGIONAL

Kebijakan Investasi Diharapkan Libatkan Masyarakat Hukum Adat

 

Kebijakan Investasi Diharapkan Libatkan Masyarakat Hukum Adat

Oleh: Albar Santosa Subari – Pemerhati Hukum Adat di Indonesia

 

JUDUL ini berangkat dari topik berita CNN Indonesia, Selasa (30/9/2025), saat reporter mewawancarai tokoh adat Lahei Aryosi Takanade, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, dalam sebuah simposium nasional.

Pertanyaan mendasar yang mengemuka adalah: *apakah masyarakat hukum adat mungkin ikut berpartisipasi dalam investasi dan pembangunan?* Dalam perspektif hukum, ini terkait dengan kemungkinan masyarakat hukum adat dipandang sebagai **subjek hukum**—yakni pihak yang memiliki hak dan kewajiban, baik sebagai subjek hukum perorangan maupun badan hukum.

Landasan Konstitusional

Secara normatif, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat diatur dalam:

* Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945,

* Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945,

* UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

* UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

* UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa negara mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan zaman, dalam kerangka NKRI, serta diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Baca Juga  Bukan Sekadar Angka, Saatnya Mahasiswa Pakai Data untuk Bangun Perubahan

Secara filosofis, pengakuan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap **hak asasi manusia** yang tidak boleh dihapuskan. Namun sayangnya, implementasi pengakuan tersebut masih terkendala syarat administratif, sehingga pelaksanaannya sering bergantung pada kebijakan politik pemerintah pusat maupun daerah.

Sebagai contoh, sejak 2006 RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat telah dicanangkan, tetapi hingga kini belum juga disahkan menjadi undang-undang.

Kedudukan sebagai Legal Standing

Sembari menunggu lahirnya UU khusus, beberapa regulasi parsial telah memberikan ruang agar masyarakat hukum adat dapat berkedudukan sebagai **legal standing** (pihak yang berhak menjadi subjek hukum di pengadilan). Hal ini misalnya diatur dalam UU Mahkamah Konstitusi yang diturunkan melalui peraturan teknis MK, serta dalam UU Pemerintahan Daerah. Namun syarat utamanya tetap: pengakuan melalui **Peraturan Daerah (Perda)**.

Realitas di Lapangan

Pengalaman saya sebagai anggota dan mantan Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan, serta kini sebagai Ketua Peduli Marga Batanghari Sembilan, menemukan sejumlah persoalan di lapangan. Baik eksekutif maupun legislatif sering kali kurang memahami masalah masyarakat hukum adat di wilayah mereka.

Hingga saat ini, di Sumatera Selatan baru ada dua kabupaten yang memiliki perda terkait masyarakat hukum adat:

1. Kabupaten Muaraenim dengan **Perda No. 2 Tahun 2007** tentang Lembaga Adat.

Baca Juga  Wagub Sumsel Cik Ujang Resmikan SPPG Sofyan Kanawas Gandus untuk Distribusi MBG

2. Kabupaten Banyuasin dengan **Perda No. 9 Tahun 2012**.

Kedua perda tersebut merupakan turunan dari Perda Provinsi Sumatera Selatan No. 12 Tahun 1988 yang didasarkan pada Permendagri No. 11 Tahun 1984 (terakhir diganti dengan Permendagri No. 9 Tahun 1997). Dasar pembentukan perda kabupaten dan provinsi ini sejatinya telah ditegaskan dalam SK Gubernur Sumatera Selatan No. 142/KPTS/III/1983 tentang pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat.

Tantangan dan Ketidakselarasan Regulasi

Masalah lain adalah belum harmonisnya regulasi antar-kementerian. Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Sosial menggunakan istilah berbeda-beda: masyarakat hukum adat, masyarakat adat, masyarakat tradisional, masyarakat terpencil, dan lain-lain. Perbedaan istilah ini berimplikasi pada kebijakan dan arah perlindungan masyarakat hukum adat.

Kesimpulannya, agar masyarakat hukum adat dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan investasi, posisi mereka sebagai subjek hukum harus lebih dahulu **dikukuhkan melalui Perda**. Padahal secara filosofis, justru negara yang berkewajiban mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, bukan sebaliknya.

Sejarah bangsa ini pun lahir dari kesatuan komunitas adat. Sejarawan Prof. M. Yamin, SH, menyebutkan bahwa lahirnya Indonesia tidak lepas dari warisan kesatuan kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit.

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button