Hutan Adat, Benteng Alam yang Terabaikan

Oleh: Albar Sentosa Subari – Pengamat Hutan Adat Sumsel
Banjir bandang kembali melanda sejumlah daerah di tanah air. Minggu ini, Bali menjadi sorotan karena pemukiman warga terendam air.
Menteri Lingkungan Hidup pun menyebut penyebab utamanya: alih fungsi lahan hutan.
Fenomena ini bukan peristiwa baru. Alih fungsi hutan sudah berlangsung lama, dan kini kita menuai dampaknya: kerugian materi hingga korban jiwa. Ironisnya, yang ikut menjadi sasaran adalah **hutan adat**, warisan leluhur yang sejak ratusan tahun lalu dijaga penuh kearifan.
Kearifan dalam Simbur Cahaya
Jika kita membuka Simbur Cahaya—kitab hukum adat di Sumatera Selatan—jelas tertulis aturan rinci mengenai tata kelola hutan. Masyarakat dilarang menebang pohon di luar kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi terhadap jenis kayu langka seperti unglen, tembesu, meranti, hingga pohon sialang tempat bersarangnya lebah.
Aturan itu menunjukkan betapa leluhur kita menempatkan hutan adat sebagai penyangga kehidupan. Pelanggaran atasnya dikenai sanksi adat, diputuskan melalui musyawarah Pasirah bersama dewan marga. Maka, hubungan manusia dan alam berjalan seimbang, sehingga bencana jarang terdengar.
Dari Hutan Adat ke Lahan Produksi
Kini keadaan berubah drastis. Ribuan hektare hutan adat di Sumatera Selatan telah beralih fungsi: menjadi hutan produksi, lahan industri, bahkan kawasan wisata. Perusahaan besar hingga individu membuka jalan beton menembus kawasan adat.
Pada 10–13 September 2025 lalu, saya ikut serta dalam tim identifikasi perhutanan sosial Palembang yang berkunjung ke eks-Marga Panang Tengah Selawi, Muaraenim. Dari diskusi dengan lembaga adat dan kepala desa setempat, terungkap fakta bahwa sebagian besar hutan adat yang dahulu luas kini hanya tersisa nama.
Padahal hutan adat adalah milik komunitas hukum adat. Anggota masyarakat boleh mengelolanya secara terbatas untuk kebutuhan keluarga, dengan izin kepala adat. Semua aktivitas diawasi dalam aturan Simbur Cahaya. Sistem itu menjaga keseimbangan antara manusia, tanah, dan hutan.
Alam yang Tidak Lagi Bersahabat
Dulu, ketika aturan adat dipatuhi, masyarakat jarang mendengar musibah besar. Alam bersahabat, air mengalir teratur, dan tanah tidak mudah longsor. Kini, setiap musim hujan kita dilanda banjir, sementara musim kemarau membawa kekeringan.
Hutan adat sejatinya benteng alami terhadap bencana. Jika ia rusak, maka sesungguhnya kita merobohkan pelindung terakhir kita sendiri.