PENDIDIKAN

Fenomena Mogok Massal di SMA Cimarga — Ketika Solidaritas Siswa Perlu Didewasakan

Penulis: Albar Santosa Subari – Ketua Jejaring Panca Mandala Sriwijaya

Perseteruan antara murid, guru, dan orang tua/wali kini bukan lagi sesuatu yang asing di dunia pendidikan kita. Kasus-kasus seperti ini sering kita dengar, baca, bahkan saksikan langsung—ada yang berakhir damai, namun tidak sedikit pula yang harus diselesaikan melalui jalur hukum.

Namun, ada fenomena menarik yang patut menjadi bahan renungan kita semua. Peristiwa ini terjadi di SMA Negeri 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten.

Sebanyak 654 siswa-siswi sekolah ini melakukan aksi *mogok masuk sekolah sebagai bentuk solidaritas terhadap teman mereka. Aksi mogok ini dilakukan setelah kepala sekolah mereka diberhentikan dari jabatannya. Bahkan para siswa dengan berani membentangkan spanduk besar bertuliskan ajakan untuk mogok tepat di gerbang utama sekolah.

Aksi seperti ini, setahu penulis, merupakan kejadian yang jarang—bahkan mungkin baru pertama kali terjadi dalam skala sebesar itu. Perlawanan massal oleh siswa bukan sekadar bentuk ekspresi, tapi sinyal bahwa ada dinamika besar yang sedang berlangsung di lingkungan pendidikan kita.

Mengapa Mogok Bisa Terjadi?

Pertanyaan penting yang muncul: apa pemicu utama aksi solidaritas ini? Berdasarkan informasi yang beredar, peristiwa ini bermula dari insiden penamparan seorang siswa oleh kepala sekolah karena siswa tersebut tertangkap tangan merokok di lingkungan sekolah.

Maka muncul beberapa kemungkinan penyebab:

1. Solidaritas terhadap teman yang merasa diperlakukan tidak pantas.

Para siswa merasa marah karena kepala sekolah menampar temannya, meski pelanggaran merokok jelas dilarang.

2. Penolakan terhadap tindakan fisik dalam mendisiplinkan siswa.

Dalam konteks pendidikan modern, guru atau kepala sekolah memang tidak dibenarkan menggunakan kekerasan fisik, meski dengan alasan mendidik.

3. Pemahaman keliru terhadap makna “merdeka belajar.

Slogan seperti *Merdeka Belajar* atau *Kampus Merdeka* kerap disalahartikan sebagai “bebas melakukan apa saja,” padahal hakikatnya adalah kemandirian belajar dalam koridor nilai dan aturan yang jelas.

Solidaritas — Pisau Bermata Dua

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), “solidaritas” berarti satu rasa, senasib, atau perasaan setia kawan. Sikap solidaritas tentu merupakan nilai mulia yang perlu dijaga. Namun, bila solidaritas tidak diarahkan pada nilai yang benar, ia justru dapat menjadi pisau bermata dua.

Baca Juga  Fenomena Kehidupan: Ketika Guru Selalu Disalahkan

Dalam kasus SMA Cimarga, aksi mogok massal justru berpotensi **merendahkan wibawa dunia pendidikan**. Sekolah bukanlah arena aksi massa, melainkan ruang pembentukan karakter, penanaman nilai, dan pencetak generasi bangsa.

Tantangan Dunia Pendidikan**

Jika aksi mogok seperti ini dibiarkan tanpa pembinaan yang bijak, maka akan lahir kebiasaan baru yang kurang sehat. Setiap ketidaksetujuan terhadap kebijakan sekolah akan direspons dengan aksi kolektif, bukan dialog atau mekanisme musyawarah yang lebih beradab.

Ini menjadi **tugas berat kita bersama**—para pendidik, orang tua, masyarakat, dan pemerintah—untuk menjaga **etika dan wibawa sekolah**. Sekolah adalah dapur tempat lahirnya tunas-tunas bangsa yang tangguh, berkarakter, dan setia pada nilai-nilai Pancasila.

Pendidikan bukan sekadar ruang transfer ilmu, tapi juga arena pembentukan watak bangsa. Karena itu, setiap bentuk ekspresi siswa harus diarahkan pada koridor yang membangun, bukan merusak.

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button