Harta Tunggu Tubang Mengalami Revolusi

Oleh: Albar Sentosa Subari, SH., SU.
Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan
Judul tulisan ini terinspirasi dari karya besar ulama dan sastrawan kebanggaan bangsa, Buya Prof. Hamka, berjudul Adat Minangkabau Mengalami Revolusi. Dari sanalah muncul pertanyaan reflektif: apakah fenomena serupa kini juga tengah terjadi pada *Harta Tunggu Tubang* di masyarakat Semende?
Dahulu, peranan ninik mamak dalam adat Minangkabau sangat kuat. Mereka menjadi penopang utama dalam menjalankan roda pemerintahan adat di tingkat suku, kaum, dan nagari. Namun, seiring derasnya arus keterbukaan dan modernisasi, peran tersebut perlahan mengalami pengikisan.
Dalam struktur sosial masyarakat Semende di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, dikenal istilah Payung Jurai, yang memiliki fungsi dan peran hampir serupa dengan *ninik mamak* di Minang. Salah satu dusun yang masih memegang teguh sistem ini adalah Dusun Pulau Panggung, di wilayah Semende Darat.
Mengapa penulis membandingkan kedua etnis tersebut?
Sebagai mantan akademisi yang menggeluti kajian hukum adat, saya melihat adanya kesamaan mendasar: **pergeseran fungsi dan peran laki-laki sebagai saudara perempuan yang diberi kuasa untuk menjaga harta turun-temurun. Di Minangkabau harta itu disebut Harta Pusaka (tinggi–rendah), sedangkan di masyarakat Semende disebut Harta Tunggu Tubang.
Baru-baru ini, jagat maya sempat dihebohkan dengan video viral tentang sengketa rumah *Tunggu Tubang* yang sudah masuk tahap eksekusi hukum, bahkan telah berkekuatan hukum tetap hingga tingkat kasasi. Namun pelaksanaan eksekusi itu mendapat penolakan keras dari masyarakat adat setempat. Dalam video tersebut terdengar teriakan lantang seorang ibu, “Tunggu Tubang harga mati!
Kisah itu menggambarkan bahwa *Harta Tunggu Tubang* kini tidak lagi utuh sebagaimana konsep asalnya. Patut diduga telah terjadi transaksi dengan pihak ketiga, padahal secara prinsip adat maupun teori hukum adat, harta pusaka atau harta tunggu tubang tidak boleh diperjualbelikan. Para keturunan hanya berhak menikmati hasilnya bersama-sama tanpa memiliki hak milik pribadi atasnya — dalam istilah hukum modern disebut communal property rights.
Fenomena ini menunjukkan perubahan besar: masyarakat adat yang dulu kolektivistik kini perlahan bergeser menjadi individualistik.
Pandangan ini sejalan dengan teori Prof. M.M. Djojodigoeno, SH, Guru Besar Hukum Adat Universitas Gadjah Mada, yang menyebut bahwa hukum adat bersifat “dinamis dan plastik” — selalu berkembang, hidup, dan menyesuaikan dengan perubahan zaman.
Sementara Prof. Iman Sudiyat, SH menegaskan bahwa hukum adat itu “modern sekaligus klasik”, artinya, meskipun bersumber dari nilai tradisional, ia tetap relevan mengikuti perkembangan masyarakat.
Ki Hadjar Dewantara, dalam buku Kebudayaan jilid II, juga menyebut bahwa kebudayaan dan adat istiadat adalah hasil budi dan daya masyarakat dalam menghadapi tantangan alam dan zaman.
Ketika pola pikir masyarakat semakin rasional dan individual, ikatan kekerabatan pun mulai melemah. Pergeseran ini tidak hanya disebabkan oleh faktor internal masyarakat adat, tetapi juga dipengaruhi oleh lembaga yudikatif, yang kini lebih banyak menggunakan sistem kekerabatan bilateral dalam pertimbangan hukum — di mana kedudukan laki-laki dan perempuan dianggap setara, sebagaimana terlihat dalam sejumlah yurisprudensi Mahkamah Agung.
Namun, pendekatan yuridis modern ini seringkali **tidak mampu menangkap makna sosial dan nilai kebersamaan** yang terkandung dalam sistem adat. Akibatnya, pelaksanaan putusan pengadilan kerap menemui kegagalan, sebagaimana kasus eksekusi Tunggu Tubang yang batal tersebut.
Maka benarlah bahwa **Harta Tunggu Tubang kini sedang mengalami revolusi**, bukan hanya dalam tataran ekonomi, tetapi juga dalam tatanan nilai, kekerabatan, dan hukum. Revolusi yang diam-diam mengubah wajah masyarakat adat dari kolektif menjadi individual, dari sakral menjadi material, dari ikatan menjadi kepemilikan.



