Ranah Privat Menjadi Ranah Publik

Oleh: Albar Santosa Subari — Pengamat Sosial dan Hukum
Dampak dari modernisasi komunikasi kini begitu terasa. Banyak hal yang semestinya bersifat pribadi, kini dengan mudah menjadi konsumsi publik di media sosial. Ruang privat seseorang—yang seharusnya dijaga dan dihormati—terbuka lebar untuk dihakimi, dikomentari, bahkan dijadikan bahan perbincangan tanpa batas.
Padahal, hal-hal seperti itu tidak patut untuk diumbar. Sayangnya, sering kali muncul pihak ketiga yang tanpa sadar atau bahkan sengaja memulainya.
Salah satu contohnya adalah kasus perselisihan rumah tangga Ibu Safitri yang hingga kini masih ramai diperbincangkan publik. Peristiwa tersebut tentu berdampak negatif bagi semua pihak, terutama bagi pasangan suami istri yang sedang berkonflik.
Islam mengajarkan, bila terjadi perselisihan dalam rumah tangga, jangan sampai diketahui oleh pihak ketiga. Cukuplah suami dan istri yang berusaha mencari jalan keluar dengan bijaksana. Bila diperlukan, barulah melibatkan keluarga atau tokoh yang bisa menengahi dengan baik.
Kasus Ibu Safitri bermula dari sebuah video yang direkam oleh kerabatnya saat ia hendak berpamitan kepada tetangga karena ingin pulang ke kampung halaman setelah berselisih dengan suaminya. Video itu kemudian tersebar luas di media sosial. Dari versi suami, pertengkaran memang sudah lama terjadi dan bahkan pernah dimediasi oleh perangkat desa.
Kita tentu tidak akan membahas lebih jauh substansi persoalan rumah tangga tersebut. Namun, peristiwa ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana sesuatu yang bersifat pribadi kini berubah menjadi tontonan publik. Arus globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi telah membuat batas antara “privat” dan “publik” semakin kabur.
Sebagai pengamat sosial dan hukum, saya mengajak kita semua untuk kembali menegakkan nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Nilai-nilai luhur warisan nenek moyang kita mengajarkan tentang adab, kesantunan, serta penghormatan terhadap privasi orang lain.
Kita harus lebih bijaksana dalam menggunakan alat komunikasi modern seperti telepon genggam. Jangan mudah membagikan informasi pribadi orang lain, apalagi yang bisa menimbulkan fitnah atau mempermalukan seseorang di ruang publik.
Tentu berbeda halnya jika informasi tersebut menyangkut kepentingan umum — misalnya bencana alam atau peristiwa sosial yang perlu diketahui masyarakat luas. Itu wajar untuk disebarluaskan.
Namun, ketika urusan pribadi dibawa ke ruang publik tanpa alasan yang tepat, hal itu justru melanggar nilai kemanusiaan dan moralitas. Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, mari kita jaga etika dalam bermedia sosial agar ruang digital kita tetap sehat, santun, dan beradab.



