Sumatera Selatan: Tanah Kaya, Rakyatnya Jangan Jadi Penonton

Sumatera Selatan: Tanah Kaya, Rakyatnya Jangan Jadi Penonton — Dari Migas, Batubara, hingga Tanah Ulayat yang Hilang, Siapa Sebenarnya yang Menikmati?
Oleh: Bangun Lubis – Wartawan
Hamparan hutan dan kebun di Sumsel memang menggiurkan. Dari Oku Selatan hingga Musi Banyuasin, dari jalur trans hingga pedalaman desa, tanah ini seharusnya jadi tempat rakyat berdiri tegak. Namun perlahan, kebun rakyat berubah rupa, tanah ulayat tercerabut, dan rakyat pun kian terpinggirkan.
Mata siapa yang tidak terbelalak bila menyaksikan hamparan hijau yang membentang di Sumatera Selatan. Dari Musi Banyuasin, Muara Enim, Lahat, hingga Ogan Komering Ulu Selatan, alam seperti menawarkan karpet luas yang tak berujung. Sumatera Selatan memang tanah kaya. Minyak dan gas, batubara, sawah, hingga kebun karet dan sawit terbentang dengan potensi besar yang seakan tiada habisnya.
Namun, di balik cerita tentang limpahan itu, terdapat pula wajah lain yang sering terabaikan. Kebun rakyat—karet yang dulu jadi penyangga hidup petani—perlahan kian menyempit, berganti dengan hamparan sawit yang kini mendominasi pandangan. Tak salah, sebab sawit pun membuka lapangan kerja. Tetapi bila peralihan itu justru membuat rakyat tersisih dari tanahnya, maka di sanalah kita perlu merenung.
Bukan hanya di Muara Enim atau Musi Banyuasin, bahkan hingga Oku Selatan dan kawasan perbatasan jalur lintas trans, kita mendengar keluhan serupa: tanah yang dulunya milik keluarga, kini berubah rupa. Ada juga kisah tentang tanah adat, tanah ulayat yang diwariskan turun-temurun, disinyalir bergeser ke tangan lain. Maka muncul pertanyaan mendasar: siapakah sesungguhnya yang paling menikmati hamparan kekayaan Sumsel ini?
Rakyat Jangan Hanya Jadi Penonton
Sumatera Selatan terlalu luas untuk hanya dinikmati segelintir orang. Eloklah bila kekayaan itu kembali menyapa rakyat kecil, para petani karet, nelayan, pekebun, hingga pedagang kecil di pasar-pasar tradisional. Jangan sampai rakyat hanya menjadi penonton di tanah sendiri.
Pembangunan mesti hadir dengan wajah adil. Jalan-jalan lintas dari Oku Selatan hingga Musi Banyuasin, juga jalur trans yang membelah Sumsel, sangat dibutuhkan bukan hanya sebagai akses transportasi, tetapi juga sebagai urat nadi ekonomi. Jalan yang baik berarti pasar terbuka. Jalan yang mulus berarti hasil kebun, hasil sawah, dan hasil bumi dapat mengalir dengan lancar. Itulah pembangunan yang sejatinya membela rakyat.
Tanah Ulayat: Identitas dan Martabat
“Tanah ulayat adalah bagian dari identitas, bukan sekadar sumber ekonomi. Ia mengikat masyarakat dengan akar budaya, cara hidup, dan martabat mereka,” ujar pengamat sosial masyarakat Sumsel, **Albar Santosa Subari**, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, sebagaimana pernah ia tulis dalam sejumlah artikel kajian sosial.
Bila tanah ulayat dikembalikan pengelolaannya kepada rakyat setempat, maka sesungguhnya yang dipulihkan bukan hanya kedaulatan ekonomi, tetapi juga kearifan lokal, budaya, dan warisan luhur yang turun-temurun. Dengan begitu, rakyat Sumsel tidak tercerabut dari akarnya. Mereka tidak sekadar dihitung dalam angka statistik pembangunan, tetapi benar-benar dihormati sebagai tuan di tanahnya sendiri.
Pekerjaan Rumah Bersama
Sumsel memang menggiurkan. Tetapi pekerjaan rumah kita adalah menata agar kekayaan ini tidak hanya menjadi milik investor atau pemilik modal besar. Pemerintah, pengusaha, dan rakyat semestinya bisa berjalan beriringan. Masyarakat harus tetap berada dalam pusaran utama, bukan tersisih.
Hamparan hutan, kebun, dan ladang yang begitu luas di Sumsel bukan hanya tentang ekspor atau angka dalam laporan. Ia adalah denyut hidup rakyat: dari petani karet di pelosok, pekebun kopi di dataran tinggi, hingga nelayan di Sungai Musi. Mereka yang selama ini menjaga, merawat, dan hidup bersama tanah, jangan sampai kehilangan hak untuk tetap berdaulat di atasnya.
Selayaknya kita kembali mengingat pepatah: *“Tanah bukan hanya tempat berpijak, tetapi juga sumber hidup.”* Maka jangan biarkan tanah rakyat berubah jadi catatan sejarah, sementara generasi mendatang tak lagi punya ruang untuk menanam, berdiri, dan bermartabat.
Harapan dari Sumsel
Sumatera Selatan adalah mozaik besar: kekayaan alam, energi, pangan, budaya, dan masyarakatnya. Potensi ini sungguh menakjubkan. Tetapi keindahan itu baru terasa lengkap bila rakyatnya turut sejahtera, bila mereka tidak hanya jadi penonton, melainkan aktor utama di panggung pembangunan.
Allah SWT sudah mengingatkan dalam firman-Nya:“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”*(QS. Al-Qashash: 77)
Rasulullah SAW pun bersabda: “Barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ia menanaminya, atau hendaklah ia memberikannya kepada saudaranya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dari ayat dan hadits ini jelas, tanah bukan hanya aset, melainkan amanah. Kekayaan Sumsel tidak boleh hanya berputar pada segelintir orang. Ia harus kembali memberi manfaat, menghidupi, dan memuliakan rakyatnya sendiri.