Lagi-Lagi Guru Diberi Tugas Tambahan dalam Program MBG

Oleh: Albar Sentosa Subari, Dewan Pakar Bakti Persada Masyarakat Sumatera Selatan
Dalam kondisi seperti sekarang, siapa yang sesungguhnya memikul tanggung jawab ketika muncul peristiwa yang tidak diharapkan, seperti keracunan, bahkan jika terjadi hal yang lebih serius lagi?
Dalam perspektif hukum, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban: anak didik, wali/orang tua, sekolah, pengelola program, hingga instansi terkait seperti SPPG dan BGN. Semua ini harus diperhatikan bersama agar tujuan program Makan Bergizi Gratis (MBG) benar-benar tercapai, yaitu membentuk generasi muda yang tangguh menghadapi arus globalisasi dunia.
Namun kebijakan yang diambil justru memunculkan pertanyaan baru. Sejauh mana tanggung jawab guru yang ditugaskan mengawasi pelaksanaan MBG, terutama dari sisi hukum? Apakah penugasan tambahan itu tidak mengganggu kegiatan utama mereka sebagai tenaga pendidik, yang sudah penuh dengan beban tugas dan tanggung jawab?
Lebih baik bila di setiap sekolah penerima program MBG ditunjuk orang tertentu dari pihak pemilik atau pengusaha MBG. Dengan begitu, tanggung jawab akan lebih jelas, dan langsung terkait dengan pihak yang diberi mandat serta memperoleh insentif.
Pengamatan penulis menunjukkan bahwa salah satu faktor terjadinya keracunan makanan berawal dari bahan baku dan pengolahan di dapur. Apakah proses itu sudah memenuhi standar kebersihan, kesterilan, dan profesionalisme? Jika tidak, maka risiko terulangnya kasus serupa tetap terbuka.
Lagi-lagi, guru kembali dibebani tugas tambahan. Padahal, profesi guru adalah profesi mulia dengan visi misi mencerdaskan anak bangsa. Selain tugas inti itu, mereka masih disibukkan dengan administrasi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Kini, ditambah lagi tanggung jawab dalam pengawasan MBG.
Program MBG memang sudah berjalan hampir sebelas bulan, tetapi dalam praktiknya menghadapi kendala, termasuk kasus keracunan yang terjadi setelah siswa menyantap makanan dari program tersebut. Atas kejadian itu, kebijakan terakhir memutuskan agar setiap sekolah penerima MBG menunjuk satu hingga tiga guru secara bergiliran setiap hari untuk mengawasi penghidangan, diprioritaskan guru honorer. Mereka diberi uang lelah seratus ribu rupiah per hari dengan sistem pembayaran sepuluh hari kemudian, menggunakan anggaran MBG.
Dengan kebijakan seperti ini, jelas terlihat bahwa guru kembali menjadi pihak yang memikul beban tambahan. Sementara itu, tanggung jawab hukum dan moral yang mungkin timbul akibat program ini tidak bisa ditunda, meskipun kompensasinya baru diterima belakangan.