NASIONALPENDIDIKAN

(Tak Ingin Beretorika) Membangun Sistem Terpadu dan Mental Anti-Korupsi sebagai Fondasi Peradaban Bangsa

GEMA DI RUANG KOSONG! Suara itu bergema di setiap sudut negeri: “Kita harus memberantas korupsi!” “Korupsi adalah musuh bersama!” “Tidak ada toleransi bagi koruptor!” Retorika ini memenuhi ruang udara, menghiasi headline media, dan menjadi mantra dalam setiap pidato kenegaraan. Lembaga-lembaga penegak hukum pun tampil garang, menyita perhatian publik dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang dramatis, menakut-nakuti dengan jeruji besi. Untuk sesaat, publik bersorak, merasa bahwa perang besar sedang dimenangkan.

Namun, di balik gema yang mengguntur itu, seringkali terasa hampa. Seperti dentuman drum di ruangan yang kosong, suaranya keras tetapi tak meninggalkan substansi yang mengubah struktur ruangan itu sendiri. Korupsi tetap hidup, bahkan bermutasi, beradaptasi dengan retorika dan intimidasi yang superfisial. Data dari Corruption Perception Index (CPI) Transparency International tahun 2023 menempatkan Indonesia pada peringkat 115 dari 180 negara, dengan skor 34 (dari skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih)). Skor ini memang menunjukkan fluktuasi kecil, tetapi stagnan dalam kategori yang memprihatinkan selama lebih dari satu dekade. Ini adalah bukti nyata bahwa sekadar “ngomong” dan “menakuti” tidaklah cukup.

Esai ini berargumen bahwa pemberantasan korupsi harus bergerak melampaui retorika dan theatrics penegakan hukum yang reaktif. Ia memerlukan pendekatan yang holistik, sistematis, dan berkelanjutan yang dibangun atas dua pilar utama: sebuah sistem terpadu dan terintegrasi yang mempersempit ruang gerak korupsi hingga ke titik nol, dan pembangunan mentalitas kolektif yang kuat yang menjadikan integritas sebagai nilai intrinsik setiap warga negara. Kedua pilar ini bukanlah opsi, melainkan satu paket yang saling menguatkan. Sistem yang kuat melindungi dan mendorong mentalitas yang baik, sementara mentalitas yang baik adalah yang akan menjalankan dan memelihara sistem tersebut secara jujur. Tanpa sistem, kita hanya berharap pada kemuliaan individu yang rapuh. Tanpa mental, sistem yang paling sempurna pun akan dicari celahnya.

Retorika Tanpa Aksi

Dalam teori ekonomi politik, retorika tanpa komitmen yang dapat diverifikasi sering disebut sebagai “cheap talk” atau pembicaraan murah yang tidak mengikat. Korupsi adalah masalah sistemik yang kompleks, melibatkan insentif ekonomi, struktur kekuasaan, dan oportunisme. Retorika, pada dirinya sendiri, tidak mengubah insentif atau struktur ini. Ia hanya menciptakan ilusi adanya kemauan politik.

Contoh klasik adalah kampanye anti-korupsi besar-besaran yang tidak diikuti dengan reformasi birokrasi. Pejabat berpidato tentang pentingnya pelayanan publik yang bersih, tetapi prosedur perizinan tetap berbelit, diskresi pejabat tetap tinggi, dan gaji pegawai tetap di bawah standar hidup yang layak. Dalam kondisi seperti ini, retorika menjadi bising dan tidak didengar. Masyarakat dan pelaku usaha yang menghadapi realitas sehari-hari justru melihat adanya hipokrisi (hypocrisy) yang dalam, yang pada akhirnya mengikis kepercayaan pada pemerintah dan institusi itu sendiri. Kepercayaan (trust) adalah modal sosial terpenting dalam memerangi korupsi, dan retorika kosong justru merusaknya.

Penelitian dalam kriminologi menunjukkan bahwa efektivitas hukuman sebagai deterrence (penangkal) tidak hanya bergantung pada kerasnya hukuman (severity), tetapi juga pada kepastiannya (certainty) dan kecepatannya (swiftness). Sistem peradilan kita lambat dan penuh dengan celah hukum. Koruptor yang tertangkap seringkali hanya menjalani hukuman singkat, mendapatkan remisi, dan tetap menikmati kekayaan hasil korupsinya. Data Lembaga Pemasyarakatan (2023) menunjukkan bahwa dari ratusan narapidana korupsi, banyak yang mendapatkan asimilasi dan integrasi selama pandemi, yang di mata publik terasa seperti “libur penjara”. Ini mengurangi kepastian dan kecepatan hukuman, sehingga efek jera dari intimidasi menjadi minimal.

Pendekatan yang hanya menangkap “ikan kecil” atau menangkap “ikan besar” tanpa membongkar sistem yang memungkinkan mereka korupsi, justru memicu adaptasi. Koruptor menjadi lebih hati-hati, menggunakan metode yang lebih canggih (seperti korupsi melalui jaringan cryptocurrency atau shell company), dan menyuapi lebih banyak pihak untuk membentuk perlindungan yang lebih kuat. Mereka yang tidak tertangkap belajar untuk tidak takut, karena melihat peluang tertangkapnya sangat kecil. Data KPK menunjukkan bahwa nilai kerugian negara per kasus justru cenderung meningkat, menunjukkan bahwa korupsi menjadi lebih berani dan sistematis, bukan berkurang.

Dalam setiap Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dramatis mudah dijadikan alat politik. Penguasa dapat menggunakannya untuk menjatuhkan lawan politik atau menciptakan citra bahwa mereka “sedang bekerja”, sambil mengabaikan korupsi yang dilakukan oleh sekutu-sekutunya. Ini merusak independensi penegakan hukum dan mengalihkan perhatian dari korupsi struktural yang lebih luas. Tahukah anda bahwa retorika dan intimidasi adalah obat pereda nyeri, bukan antibiotik yang menyembuhkan infeksi sistemik. Mereka mengobati gejala, bukan penyakitnya.

Membangun Sistem Terpadu dan Terintegrasi

Sistem yang terpadu dan terintegrasi bertujuan untuk menciptakan lingkungan di mana korupsi secara struktural menjadi sangat sulit, sangat berisiko, dan sangat tidak menguntungkan untuk dilakukan. Ini adalah pendekatan proaktif dan preventif. Sistem ini harus mencakup

  1. Integrasi Data dan Teknologi yakni Satu Data Indonesia dimana  pemerintah harus mempercepat integrasi semua database kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Database populasi (adminduk), perpajakan, kepabeanan, perizinan usaha, pengadaan barang/jasa, dan aset pejabat harus terhubung dan saling terverifikasi. Jika data NPWP, NIK, dan Nomor Induk Usaha terintegrasi, sangat sulit bagi seseorang untuk menyembunyikan kekayaan atau melakukan transaksi fiktif.
  2. E-Government dan Platform Terbuka dimana seluruh pelayanan publik harus bermigrasi ke platform digital yang terpusat (one-stop service). E-procurement, e-budgeting, e-licensing, dan e-auditing harus menjadi standar. Platform ini harus terbuka untuk diawasi oleh publik (open data). Contoh sukses adalah sistem e-procurement LPSE yang telah memangkas praktik mark-up dan kolusi secara signifikan, meski belum sempurna. Menurut Kajian KPK, penerapan e-procurement dapat menghemat anggaran negara hingga 15-20%.
  3. Big Data dan Artificial Intelligence (AI) untuk Pencegahan dimana AI dapat digunakan untuk menganalisis data transaksi keuangan, pola pengadaan, dan jaringan sosial untuk mendeteksi anomali dan pola yang mencurigakan (red flags) secara otomatis. Misalnya, sistem dapat memberi peringatan jika ada perusahaan yang selalu menang tender di bawah nilai pagu dengan margin yang sangat tipis, atau jika ada pejabat yang gaya hidupnya tidak sesuai dengan penghasilan resminya. Ini mengubah penegakan hukum dari reaktif menjadi prediktif.
  4. Simplifikasi Perizinan dan Regulasi dimana pemerintah harus secara konsisten menerapkan Undang-Undang Cipta Kerja dan prinsip-prinsipnya untuk menyederhanakan dan memangkas regulasi yang tumpang tindih. Setiap prosedur yang tidak perlu adalah peluang untuk meminta “pembayaran tidak resmi”. Indeks Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) harus terus ditingkatkan.
  5. Memperkecil Diskresi dimana Korupsi sering terjadi ketika seorang pejabat memiliki wewenang diskresi (kebijakan) yang terlalu besar dan tidak terkontrol. Sistem harus dirancang untuk meminimalkan diskresi ini dengan membuat standar operasional prosedur (SOP) yang jelas, objektif, dan terukur. Jika pemberian izin didasarkan pada kriteria yang terukur dan terdata, bukan pada “kebijakan” subjektif, ruang untuk suap menyuap mengecil.
  6. Meningkatkan Kesejahteraan Aparatur (The Singapore Model) seperti Gaji dan tunjangan PNS harus dinaikkan ke level yang layak dan kompetitif. Teori “efisiensi upah” (efficiency wage theory) menyatakan bahwa dengan membayar pegawai di atas tingkat pasar, biaya yang harus ditanggung jika mereka melakukan korupsi dan dipecat menjadi sangat tinggi. Singapura sukses memberantas korupsi dengan drastis salah satunya karena menerapkan prinsip ini: gaji pejabatnya sangat tinggi, tetapi hukumannya bagi yang korupsi juga sangat berat. Ini menciptakan insentif yang kuat untuk tetap bersih.
Baca Juga  UKB Gelar Wisuda ke-XXII, Kepala LLDIKTI 2 : Jadilah Pembelajar Sepanjang Hayat di Sekolah Kehidupan

Sinergi BPK, BPKP, dan Inspektorat Jenderal: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan inspektorat di setiap kementerian harus membangun sistem pengawasan yang terintegrasi dan saling berbagi informasi. Temuan audit harus ditindaklanjuti secara hukum secara tegas, bukan hanya menjadi rekomendasi yang masuk laci.

Whistleblower System yang Komprehensif dan Protektif: Pelapor (whistleblower) adalah ujung tombak pemberantasan korupsi. Indonesia sudah memiliki UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi implementasinya lemah. Sistem perlu diperkuat dengan jaminan kerahasiaan identitas yang ketat, perlindungan fisik yang memadai, dan insentif finansial yang memadai. Banyak kasus korupsi besar terbongkar justru dari laporan orang dalam.

Independensi Kejaksaan dan Kepolisian jangan sampai menjadi intervensi politik. Sistem rekrutmen, promosi, dan mutasi untuk jaksa dan polisi harus berdasarkan meritokrasi dan transparan, bukan pertimbangan politik. Peradilan yang Khusus dan Cepat: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) perlu diperkuat dengan hakim-hakim yang khusus, berintegritas, dan memiliki pemahaman mendalam tentang keuangan dan korupsi. Proses persidangan harus dipercepat untuk memenuhi prinsip swiftness of punishment.Proses perampasan aset hasil korupsi harus menjadi prioritas. Kerja sama dengan pusat keuangan internasional dan lembaga perbankan global harus ditingkatkan untuk melacak dan menyita aset-aset yang disembunyikan di luar negeri. Termasuk memberlakukan peraturan seperti UU Perampasan Aset.

Mentalitas Anti Korupsi  

Sistem yang sempurna pun akan gagal jika dijalankan oleh manusia yang mentalnya bobrok. Membangun mentalitas anti-korupsi adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan perubahan budaya dan nilai-nilai.

Perlunya Integrasi ke dalam kurikulum dimana nilai-nilai kejujuran, integritas, tanggung jawab, kemandirian, dan sederhana harus menjadi bagian dari kurikulum dari tingkat PAUD hingga Perguruan Tinggi, bukan sebagai mata pelajaran terpisah, tetapi sebagai nilai yang diinternalisasi dalam setiap pelajaran. Pelajaran Sejarah bisa menekankan pada akibat korupsi bagi kehancuran suatu peradaban. Pelajaran Matematika bisa mengajarkan kejujuran dalam menghitung.

Oleh karenanya perlu metode pembelajaran yang partisipatif dimana pendidikan anti-korupsi harus menggunakan metode role-play, studi kasus, diskusi, dan proyek sosial yang membuat siswa mengalami langsung nilai-nilai tersebut. Mereka harus diajak untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk korupsi kecil di sekitarnya (mencontek, menyontek, bolos) dan memahami bahwa itu adalah bibit dari korupsi besar.

Peran Guru sebagai Teladan harus menjadi contoh hidup dari integritas. Tidak ada gunanya mengajarkan kejujuran jika guru sendiri meminta “sumbangan” yang tidak transparan atau memaksa muridnya untuk les privat. Disamping juga keteladanan orang tua seperti orang tua yang memberikan suap pada polisi lalu lintas, atau menyogok untuk memasukkan anaknya ke sekolah favorit, sedang mengajarkan pelajaran yang sangat destruktif: aturan bisa dibeli. Orang tua harus konsisten antara perkataan dan perbuatan.

Perlunya peran media dan masyarakat sipil dalam membangun narasi dan tekanan publik
media dan LSM adalah watchdogs (anjing penjaga) demokrasi.Media harus berinvestasi dalam jurnalisme investigatif yang mendalam untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang rumit, bukan hanya melaporkan OTT. Mereka harus menjadi sumber informasi yang kredibel bagi publik.

Baca Juga  Zakiudin Menyalakan Literasi dan Numerasi di SMP IT Al Furqon Palembang

Masyarakat sipil, melalui organisasi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia, dan lainnya, harus terus menerus mendorong dan mengawasi implementasi sistem integritas nasional. Mereka memberikan tekanan dari luar agar pemerintah tetap pada jalurnya.Kampanye anti-korupsi harus menggunakan bahasa dan medium yang mudah dicerna semua kalangan (film, musik, media sosial, komik) untuk mengubah persepsi bahwa korupsi bukanlah hal yang “wajar” atau “hebat”, melainkan perbuatan yang memalukan dan merusak masa depan anak cucu.

Tak kalah penting adalah pemimpinnya dimana pemimpin  adalah cermin bagi bawahannya. Perilaku korup seorang pemimpin akan memberi sinyal bahwa korupsi diterima.Politisi dan pejabat tinggi harus secara sukarela membuka rekening pribadi dan kekayaannya untuk diaudit secara independen. Mereka harus hidup sederhana dan menjauhkan diri dari gaya hidup hedonis yang tidak sesuai dengan gajinya. Kemudian konsistensi antara ucapan dan tindakan sangatlah penting. Seorang pemimpin yang berpidato anti-korupsi tetapi mengangkat menteri atau pejabat yang bermasalah atau terlibat dalam oligarki, akan kehilangan kredibilitasnya secara instan. Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata.

Belajar dari Kesuksesan dan Kegagalan

Seperti negara Georgia, transformasi radikal dalam satu dekade
Pada tahun 2003, pasca Revolusi Mawar, Georgia adalah negara yang hampir runtuh akibat korupsi sistemik. Presiden Mikheil Saakashvili melakukan reformasi radikal. Negaranya memecat hampir seluruh kepolisian lama yang korup dan membangun kepolisian baru dengan gaji tinggi (dinaikkan 40x lipat) dan pelatihan intensif. Memelopori “one-stop-shop” untuk perizinan usaha, memangkas birokrasi yang berbelit.Menciptakan narasi nasional bahwa korupsi adalah aib nasional yang harus dibersihkan. Tindakan tegas dan konsisten memberi pesan bahwa era baru telah dimulai.
Hasilnya, dalam 5 tahun, Georgia meloncat dari peringkat CPI 124 (2003) menjadi 67 (2008). Pada 2023, peringkatnya adalah 49, jauh di atas Indonesia.

Belajar dari Singapura dimana ada kombinasi sempurna sistem dan mental
Lee Kuan Yew membangun Singapura dengan dua strategi. Seperti dengan sistem yang Kuat dengan membentuk Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) yang sangat independen dan kuat. Menerapkan gaji sangat tinggi untuk pejabat (menteri bisa bergaji > $1 juta/tahun) berdasarkan prinsip “gaji yang kompetitif untuk mencegah korupsi”. Termasuk menanamkan nilai-nilai meritokrasi, disiplin, dan hukum melalui pendidikan dan keteladanan kepemimpinan yang tidak kompromi. Korupsi dipandang sebagai perilaku yang sangat memalukan.
Hasilnya, Singapura konsisten menjadi salah satu negara terbersih di dunia (peringkat 5 CPI 2023).

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia dianggap potret gagal pemberantasan korupsi dimana pendekatan hanaya sepotong-sepotong. Indonesia
telah mencoba banyak hal: membentuk KPK (2003) yang sangat kuat, memiliki UU Tipikor, dan kampanye anti-korupsi masif. Namun, kemajuan terhambat karena sistem yang tidak terintegrasi. Database masih terpecah-pecah. Birokrasi masih rumit. Pengawasan keuangan negara masih lemah. Perlindungan whistleblower tidak optimal. Juga terjadi pelecehan terhadap sistem seperti  upaya pelemahan KPK melalui revisi UU yang kontroversial, yang melemahkan independensi dan kekuatannya dalam penyadapan dan perekrutan staf, adalah bukti bahwa sistem terbaik pun bisa dirusak oleh mental korup di tingkat legislatif dan eksekutif. Korupsi masih dipandang sebagai “budaya” atau “tambahan penghasilan” oleh banyak kalangan. Keteladanan pemimpin masih dipertanyakan. Hasilnya adalah stagnasi.

Membangun Peradaban yang Berintegritas

Membangun kedua pilar ini memerlukan roadmap yang jelas dan komitmen politik yang sungguh-sungguh.Komitmen Politik Tertinggi seperti dari Presiden dimana  harus menjadikan ini sebagai agenda utama dan memimpin langsung pelaksanaannya, bukan hanya menyampaikan perintah. Juga ada pembentukan satgas Integrasi Sistem Nasional: Satuan tugas khusus yang beranggotakan pakar IT, birokrat, dan penegak hukum untuk mempercepat integrasi database nasional dan penerapan e-government secara menyeluruh.

Perlu dilakukan revolusi pendidikan karakter. Dengan cara  merevisi kurikulum pendidikan nasional dengan menempatkan pendidikan anti-korupsi sebagai core value, disertai dengan pelatihan masif bagi guru. Perlu juga reformasi total birokrasi dan penegakan hukum yakni meninjau ulang semua regulasi, menaikkan gaji aparatur secara bertahap namun signifikan, dan memastikan proses hukum berjalan independen dan cepat.

Pemberantasan korupsi bukanlah proyek satu atau dua periode kepresidenan. Ia adalah sebuah perjalanan panjang membangun peradaban. Peradaban yang dibangun di atas fondasi korupsi adalah peradaban yang rapuh, yang akan runtuh oleh beratnya ketidakadilan dan kesenjangan yang diciptakannya sendiri.

Retorika dan intimidasi adalah ilusi kemajuan. Mereka seperti membangun istana pasir yang akan habis diterjang gelombang realitas. Satu-satunya jalan adalah melakukan kerja-kerja keras, sistematis, dan tidak populer untuk membangun sistem terpadu yang kokoh, sambil secara simultan dan berkelanjutan menanamkan nilai-nilai integritas ke dalam jiwa setiap anak bangsa.

Ini adalah pilihan kita: apakah kita ingin dikenang sebagai generasi yang pandai berteriak tetapi lalai membangun, atau sebagai generasi yang meletakkan batu bata pertama untuk fondasi Indonesia yang berintegritas, bersih, dan adil—sebuah warisan abadi yang jauh lebih berharga daripada segala kekayaan yang dihasilkan dari korupsi. Momentumnya harus dimulai sekarang, karena setiap detik yang kita habiskan hanya untuk “ngomong” dan “menakuti”, korupsi terus menggerogoti masa depan bangsa ini. (****)

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button