
Oleh: Bangun Lubis, Wartawan
Di tengah hiruk-pikuk modernisasi Kota Palembang, ada satu sudut kota yang kini tinggal kenangan: Pasar Cinde. Dahulu, pasar ini bukan sekadar tempat orang berjualan dan membeli kebutuhan harian. Ia adalah denyut kehidupan kota, halaman penting dari buku panjang sejarah Palembang.
Pasar Cinde dibangun pada tahun 1957–1958, menjadi pasar modern pertama di kota ini setelah Indonesia merdeka. Ciri khasnya terletak pada bentuk kolom “cendawan” yang unik — bukan sekadar arsitektur indah, melainkan simbol kemajuan kota pada masa itu. Di balik tiang-tiangnya tersimpan jejak peradaban, karena lokasinya juga tak jauh dari makam Sultan pertama Palembang.
> “Pasar Cinde merupakan pasar modern pertama di Palembang yang dibangun setelah kemerdekaan RI. Keunikannya tidak hanya pada penggunaan kolom cendawan, namun juga sejarah panjang lokasi pasar yang tidak lepas dari letak makam Sultan Pertama Palembang,” tulis Johannes Adiyanto dalam makalahnya *#Savepasarcinde: Upaya Penyelamatan Bangunan Cagar Budaya* (2017).
Dari Simbol Kemajuan Menjadi Puing Sunyi
Di masa jayanya, pasar ini menjadi ruang pertemuan sosial. Para pedagang dan pembeli saling bertukar kabar di antara deru kendaraan yang lalu-lalang di Jalan Jenderal Sudirman. Namun arus pembangunan yang kian deras mengubah nasibnya.
Pada 2016, muncul rencana modernisasi pasar ini untuk mendukung Asian Games 2018. Keputusan itu memicu gelombang penolakan. Petisi pun bergulir di *change.org* pada 12 Juni 2016, berisi suara hati masyarakat yang ingin mempertahankan identitas kota.
Sayangnya, pada 2017, Pasar Cinde dibongkar. Pedagang dipindahkan ke Jalan Letnan Jaimas dan Jalan Cinde Welan. Bangunan yang dijanjikan akan menjadi pusat perbelanjaan modern hingga kini tak kunjung berdiri.
Kini, di tempat pasar megah itu, hanya tersisa puing-puing, tiang-tiang besi berkarat, semak belukar, dan kesunyian. Seolah-olah satu paragraf penting dari sejarah kota ini terhapus begitu saja.
Jejak Hukum yang Belum Usai
Rencana besar itu bukan hanya menyisakan reruntuhan fisik. Proyek tersebut kini juga berujung pada penyelidikan hukum oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. Sejumlah pejabat dan mantan pejabat telah dimintai keterangan. Dugaan tindak pidana korupsi mengiringi mandeknya proyek yang sejak awal diklaim sebagai simbol kemajuan.
Masyarakat Palembang kini menunggu jawaban: kapan kasus ini akan bergulir ke pengadilan dan siapa yang akan bertanggung jawab atas nasib satu bab sejarah kota?
Sejarah Kota Lama
Pasar Cinde adalah ruang ingatan kolektif warga Palembang. Ia adalah tempat di mana sejarah, ekonomi rakyat, dan kebudayaan berpadu dalam harmoni yang sederhana. Hilangnya bangunan ini bukan sekadar hilangnya pasar, melainkan memudarnya identitas kota yang pernah membanggakan peninggalan masa lalunya.
Kota besar tidak tumbuh hanya dari bangunan tinggi yang menjulang, tetapi juga dari keberaniannya merawat jejak sejarah. Bila jejak itu dibiarkan lenyap, maka kota akan kehilangan pijakan maknanya sendiri.
Suara yang Tak Boleh Padam
Di setiap kota ada ruang kenangan yang tak tergantikan. Pasar Cinde adalah salah satunya bagi Palembang. Meski kini hanya menyisakan puing dan semak, suara sejarahnya belum padam. Ia menunggu tangan-tangan yang mau merawat kembali ingatan, bukan sekadar membangun gedung tanpa jiwa.
Karena sebuah kota, pada akhirnya, bukan diukur dari megahnya bangunan—melainkan dari seberapa dalam ia menghargai masa lalunya.