Ketulusan Hati Seorang Pendidik

Oleh: Albar Sentosa Subari — Ketua JPM Sriwijaya
Sosok seorang pendidik sejati tak hanya diukur dari seberapa banyak prestasi akademik yang dicetak oleh lembaga yang dipimpinnya, tetapi juga dari keteguhan hati dalam menjaga marwah dan adab pendidikan. Sosok itulah yang tergambar pada diri Ibu Dini Fitria, Kepala SMA Negeri 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten.
Beberapa waktu lalu, namanya sempat menjadi sorotan publik nasional. Ia dinonaktifkan dari jabatannya sebagai kepala sekolah setelah menampar seorang siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Kejadian tersebut kemudian berbuntut panjang. Orang tua siswa melapor ke pihak kepolisian, dan ironisnya sekitar 600 lebih siswa melakukan aksi mogok sekolah sebagai bentuk tekanan agar kepala sekolah diberhentikan.
Namun, seiring berjalannya waktu dan proses penyelesaian yang lebih jernih, Gubernur Banten kembali mengaktifkan Ibu Dini sebagai kepala sekolah. Pengaduan ke kepolisian pun dicabut. Secara administratif, persoalan itu tampak selesai, tetapi luka psikologis dan beban moral tetap membekas bagi beliau sebagai pendidik.
Lebih menyedihkan lagi, muncul kabar bahwa ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan momentum ini, bahkan sejumlah perguruan tinggi dan dunia kerja disebut-sebut sempat melakukan “blacklist” terhadap lulusan angkatan 2026–2028 dari SMA Negeri 1 Cimarga. Ini menjadi pukulan berat — bukan hanya bagi Ibu Dini pribadi, tapi juga bagi ratusan siswa yang tidak bersalah.
“Saya punya beban berat untuk mengembalikan citra sekolah ini di mata publik,” tutur Ibu Dini dalam sebuah kesempatan. “Saya tidak ingin masa depan anak-anak ini rusak hanya karena satu peristiwa.”
Pernyataan itu menggambarkan betapa berat tanggung jawab seorang kepala sekolah. Ia bukan sekadar pejabat struktural, melainkan sosok yang memikul kehormatan lembaga, masa depan murid, dan citra dunia pendidikan di masyarakat.
Persoalan ini sejatinya bukan hanya tanggung jawab satu sekolah. Ia mencerminkan problem lebih luas dalam sistem pendidikan kita saat ini. Sejak era reformasi, pendidikan nasional cenderung terjebak dalam euforia kebebasan, tetapi kehilangan pijakan kuat pada adab, etika, dan budi pekerti. Kurikulum boleh berubah — dari kurikulum berbasis kompetensi hingga kurikulum merdeka — namun jika akhlak dan karakter dikesampingkan, maka pendidikan kehilangan ruhnya.
Dalam Islam, kita mengenal ungkapan:
“Orang yang beradab pasti berilmu. Orang yang berilmu belum tentu beradab.”
Ungkapan ini mengandung makna mendalam. Pendidikan bukan semata-mata melahirkan manusia cerdas secara intelektual, tetapi juga beradab, beretika, dan berjiwa mulia. Kasus di SMA Negeri 1 Cimarga hendaknya menjadi momentum bagi kita semua — para pendidik, orang tua, masyarakat, dan pemerintah — untuk kembali menata arah pendidikan nasional yang berakar pada nilai-nilai moral dan karakter bangsa.
Kini, tugas berat menanti Ibu Dini dan para guru di SMA Negeri 1 Cimarga: memulihkan citra sekolah, memulihkan kepercayaan publik, dan mengembalikan semangat para siswa agar mereka tidak menjadi korban stigma yang tidak mereka ciptakan.
Dan yang terpenting, masyarakat perlu mengembalikan penghormatan terhadap pendidik. Karena pendidikan tidak akan pernah melahirkan generasi unggul jika para pendidiknya terus disudutkan — bahkan ketika niat mereka adalah menjaga adab dan kebaikan.



