SEJARAH-BUDAYA

Palembang Darussalam — Warisan Cahaya dari Masa Keemasan (Bagian V)

 

Oleh: Bangun Lubis – Wartawan Muslim

Ketika fajar Islam telah lama menyinari langit Palembang, cahaya itu tidak lagi sekadar berpendar di menara masjid atau di tepian Sungai Musi. Ia telah menjelma menjadi denyut nadi kehidupan, mengalir dalam tutur rakyat, dan bergetar di setiap langkah penguasa yang beriman. Di masa itulah, Palembang Darussalam mencapai masa keemasan — suatu zaman ketika iman, ilmu, dan adab bersatu dalam satu tarikan napas.

1. Negeri di Bawah Naungan Syariat

Sultan-sultan Palembang memahami bahwa kekuasaan tanpa iman hanyalah kebesaran semu. Maka setiap keputusan, setiap kebijakan, selalu diukur dengan timbangan syariat. Di istana, para ulama menjadi penasehat utama. Mereka bukan sekadar pengisi khutbah, tetapi penentu arah perjalanan negeri.

Sultan bukan hanya raja di mata rakyat, melainkan juga pelindung agama. Ia menegakkan hukum Islam dengan kasih sayang, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

> *“Pemimpin itu adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.”* (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari balairung istana hingga serambi masjid, semangat menegakkan keadilan menjadi nafas pemerintahan. Tidak ada kebijakan yang berdiri di atas hawa nafsu, karena di setiap langkah selalu terngiang firman Allah:

> *“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)

2. Sungai Musi, Urat Nadi Dakwah dan Peradaban

Sungai Musi bukan hanya jalur dagang, tetapi juga jalan dakwah. Di sepanjang tepian sungai itu, masjid-masjid berdiri teguh seperti penjaga iman. Para ulama dan saudagar Muslim mengajarkan Islam lewat akhlak, bukan pedang; lewat kejujuran, bukan kekerasan.

Baca Juga  110 Guru Ikuti Pelatihan Pengajaran Sekolah Inklusif

Kapal-kapal yang berlayar di Musi membawa rempah dan hasil bumi, tapi juga membawa kitab, dzikir, dan syiar. Di dermaga, para pedagang menunaikan salat berjamaah sebelum bertransaksi. Di antara hiruk-pikuk pasar, terdengar lantunan ayat Al-Qur’an dari madrasah kecil di pinggir sungai. Palembang hidup sebagai kota yang berdagang dengan dunia, tapi bersujud kepada Allah setiap waktu.

3. Ulama dan Cahaya Ilmu

Dari bumi Palembang lahir para ulama besar yang namanya harum sampai ke Tanah Suci. Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani adalah salah satunya. Beliau menulis *Hidayatus Salikin* dan *Siyarus Salikin*, dua kitab tasawuf yang hingga kini masih dipelajari di pesantren-pesantren Nusantara.

 

Ilmu agama tidak hanya diajarkan di masjid, tapi juga di rumah-rumah bangsawan dan rakyat jelata. Bahasa Arab-Melayu menjadi bahasa ilmu dan dakwah. Tradisi menulis berkembang pesat, dan Palembang menjadi pusat literasi Islam yang disegani.

Pada masa itu, belajar bukan untuk mencari pangkat, melainkan untuk mencari ridha Allah. Menulis bukan untuk kebanggaan dunia, tetapi sebagai amal jariyah. Semangat itu menjadikan Palembang bukan sekadar negeri makmur, tapi negeri berilmu dan beradab.

4. Keseharian yang Dibalut Iman

Kehidupan rakyat Palembang berdenyut dalam harmoni Islam. Di setiap rumah, terdengar bacaan Al-Qur’an selepas maghrib. Di pasar, timbangan dijaga dengan jujur. Di sawah, doa-doa dipanjatkan sebelum menanam benih. Di istana, Sultan memulai hari dengan mendengarkan nasihat ulama.

Baca Juga  Palembang Darussalam — Masa Keemasan Kesultanan Islam (Bagian III)

Adat dan agama menyatu, bukan bertentangan. Nilai-nilai Islam menjadi dasar dari setiap kebiasaan. Pakaian, tutur kata, pergaulan — semuanya mencerminkan akhlak. Palembang Darussalam bukan sekadar kerajaan Islam, tetapi negeri yang menyalakan cahaya Islam dalam kehidupan sehari-hari.

5. Warisan yang Tak Pernah Padam

Kini, berabad-abad setelah masa itu berlalu, gema takbir di langit Palembang tetap terdengar. Sungai Musi masih mengalir tenang, seolah menyimpan doa dari masa silam. Setiap azan yang berkumandang dari menara Masjid Agung adalah bisikan sejarah: bahwa kota ini pernah menjadi taman ilmu dan iman.

Warisan Palembang Darussalam bukan hanya tentang istana, masjid, atau kitab, tetapi tentang jiwa. Jiwa yang menjadikan iman sebagai puncak peradaban. Jiwa yang percaya bahwa kemuliaan sejati bukan pada emas dan kekuasaan, melainkan pada ketundukan kepada Allah ﷻ.

*“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu pula Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.”(QS. At-Taubah: 105)

Palembang Darussalam bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah doa yang menjelma menjadi peradaban.

Semoga generasi kini menyalakan kembali pelita itu — agar cahaya Islam terus bersinar di bumi Sriwijaya hingga akhir zaman.

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button