Palembang Darussalam — Masa Keemasan Kesultanan Islam (Bagian III)

Palembang Darussalam — Masa Keemasan Kesultanan Islam (Bagian III)
Oleh: Bangun Lubis — Wartawan Muslim
Palembang pernah berdiri sebagai salah satu pusat peradaban Islam yang paling berpengaruh di Nusantara bagian barat. Setelah melewati masa awal berdirinya kesultanan, sebagaimana telah diuraikan pada dua bagian sebelumnya, maka memasuki abad ke-17 hingga awal abad ke-19, Palembang Darussalam mencapai masa keemasan.
Inilah masa ketika Islam tumbuh kokoh, perdagangan berkembang pesat, dan kehidupan sosial masyarakat berjalan harmonis dalam bingkai syariat. Sungai Musi yang membelah kota menjadi saksi bisu kejayaan itu.
Pusat Perdagangan dan Jalur Strategis
Letak Palembang yang strategis di tepian Sungai Musi menjadikannya pelabuhan dagang penting bagi dunia internasional. Kapal-kapal dari Arab, Gujarat, Cina, dan Eropa berlabuh di pelabuhan Palembang. Mereka membawa hasil bumi, rempah, sutra, logam, dan keramik. Sebaliknya, dari Palembang mengalir hasil hutan, lada, dan timah yang menjadi incaran para saudagar mancanegara.
Pelabuhan Palembang pada masa itu ramai oleh aktivitas jual beli. Bahasa Arab, Melayu, dan Cina terdengar berdampingan dengan bahasa Belanda dan Inggris. Palembang benar-benar menjadi kota kosmopolitan Islam yang hidup di bawah naungan kesultanan.
Sultan sebagai Pemimpin Agama dan Negara
Salah satu sosok penting pada masa keemasan ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin I. Beliau bukan hanya seorang pemimpin pemerintahan, tetapi juga seorang sultan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Di bawah kepemimpinannya, struktur pemerintahan kesultanan diatur berdasarkan syariat.
Sultan menjadi pusat segala kebijakan, dibantu para mufti, qadhi (hakim agama), penghulu, dan pejabat pemerintahan lainnya. Sistem ini membuat Kesultanan Palembang memiliki kestabilan politik yang kuat dan tata kelola yang rapi. Hukum Islam menjadi landasan dalam penyelesaian berbagai perkara sosial, hukum, dan perdagangan.
Masjid Agung — Simbol Peradaban Islam
Puncak kemegahan masa keemasan itu tergambar pada berdirinya Masjid Agung Palembang. Masjid megah ini bukan sekadar rumah ibadah, melainkan juga pusat ilmu pengetahuan dan kegiatan dakwah Islam. Di sinilah para ulama, santri, dan masyarakat umum berkumpul untuk mengaji, berdiskusi, dan belajar berbagai disiplin ilmu keislaman.
Masjid Agung menjadi semacam “universitas rakyat” pada masanya. Dari tempat ini, Islam disebarkan ke berbagai pelosok Sumatera Selatan. Ulama Palembang banyak yang kemudian melanjutkan ilmu ke Mekah dan Madinah, lalu kembali menjadi pelita keilmuan di tanah air.
Masyarakat Hidup dalam Bingkai Syariat
Palembang Darussalam bukan sekadar nama. Ia adalah ruh yang hidup di tengah masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat sangat diwarnai oleh ajaran Islam. Hukum adat berjalan seiring dengan hukum agama. Perkawinan, warisan, jual beli, hingga urusan pemerintahan desa semua memiliki dasar keagamaan yang kuat.
Setiap kampung memiliki surau atau langgar sebagai pusat kegiatan keagamaan dan sosial. Anak-anak belajar mengaji sejak kecil, dan perayaan keagamaan menjadi momentum yang ditunggu-tunggu masyarakat. Hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isra Mi’raj, dan Idul Fitri dirayakan dengan khidmat dan penuh makna spiritual.
Sastra Islam juga berkembang pesat. Puisi dan syair bernafaskan dakwah sering dilantunkan dalam berbagai acara adat dan keagamaan. Pakaian masyarakat mencerminkan nilai Islam — tertutup, sopan, dan penuh wibawa.
Hubungan dengan Dunia Islam Internasional
Masa keemasan Palembang Darussalam juga ditandai dengan eratnya hubungan dengan dunia Islam internasional. Ulama-ulama Palembang banyak yang belajar di tanah suci dan pusat-pusat ilmu Islam lainnya. Mereka membawa pulang ilmu dan semangat dakwah, memperkuat posisi Islam dalam masyarakat.
Selain itu, Palembang juga menjalin hubungan dagang dengan dunia luar. Saudagar Arab dan Gujarat sering menetap dalam waktu lama. Hubungan ini tidak hanya dalam bentuk ekonomi, tetapi juga budaya dan keagamaan. Nilai-nilai Islam dari dunia Arab berpadu dengan budaya Melayu Palembang sehingga melahirkan peradaban yang khas.
Benteng Kuto Besak — Simbol Kekuasaan
Masa keemasan juga ditandai dengan pembangunan infrastruktur pertahanan dan pemerintahan. Salah satu peninggalan penting dari masa ini adalah Benteng Kuto Besak, sebuah bangunan megah di tepi Sungai Musi yang menjadi pusat pemerintahan kesultanan.
Benteng ini dibangun dengan arsitektur khas Melayu-Islam, kokoh namun indah. Dari benteng inilah berbagai kebijakan penting diambil, dan pasukan kesultanan mengatur keamanan wilayah.
Islam Menjadi Sumber Kemajuan
Kekuatan Palembang Darussalam pada masa keemasan bukan semata-mata terletak pada kekayaan alam atau perdagangan. Akar kekuatannya ada pada nilai Islam yang menjiwai setiap sendi kehidupan. Islam menjadi pendorong kemajuan dan perekat masyarakat. Sultan sebagai pemimpin, ulama sebagai penerang, dan rakyat sebagai pengamal menjadikan Palembang makmur dan berwibawa.
Tidak berlebihan jika Palembang disebut sebagai salah satu pusat Islam tertua dan terkuat di Nusantara bagian barat. Pengaruhnya bahkan menjangkau daerah-daerah sekitarnya, seperti Jambi, Bengkulu, dan Lampung.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”(Al-Qur’an, Surah Ali Imran ayat 104)



