Profesionalisme Pejabat Publik Dipertanyakan

Oleh: Albar Sentosa Subari – Pengamat Hukum dan Sosial di Sumatera Selatan
Suasana upacara peringatan **Hari Kesaktian Pancasila**, 1 Oktober 2025 di Kabupaten Pasangkayu, semestinya menjadi momentum untuk meneguhkan kembali semangat nasionalisme dan penghormatan terhadap dasar negara.
Namun, momen yang seharusnya sakral itu justru diwarnai insiden yang menyita perhatian publik, terutama di media sosial.
Dalam prosesi upacara tersebut, Wakil Ketua DPRD Pasangkayu yang mendapat tugas membacakan naskah Pembukaan UUD 1945 tampak terbata-bata dan kurang lancar saat membacakan teks. Suasana yang seharusnya khidmat pun berubah menjadi canggung, bahkan mengundang sorotan masyarakat.
Tak hanya itu, beberapa pejabat yang hadir di barisan depan upacara juga tampak **sibuk dengan ponsel** masing-masing, bukannya ikut khidmat mendengarkan pembacaan teks yang menjadi simbol pengingat sejarah perjuangan bangsa.
Fenomena ini, menurut saya, menjadi tanda kemerosotan **etika dan profesionalisme pejabat publik** di negeri ini. Sebab, upacara kenegaraan bukan sekadar seremoni, tetapi bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai luhur yang membentuk identitas bangsa.
Saya masih teringat masa pemerintahan Orde Baru, ketika setiap upacara kenegaraan dilakukan dengan penuh kedisiplinan dan rasa hormat. Petugas pembaca Pancasila maupun Pembukaan UUD 1945 berdiri tegak di depan inspektur upacara, melafalkan teks dengan penuh keyakinan tanpa cela. Bahkan, banyak di antara mereka yang hafal di luar kepala, menandakan penghayatan yang dalam terhadap makna teks tersebut.
Sebaliknya, kejadian di Pasangkayu ini memunculkan tanda tanya besar: sejauh mana para pejabat memahami nilai-nilai yang mereka wakili? Apakah jabatan publik kini hanya dilihat sebagai posisi administratif, bukan amanah moral dan simbol keteladanan?
Sebagai pejabat publik, setiap tindakan di ruang terbuka memiliki dimensi **edukatif dan representatif**. Masyarakat melihat mereka sebagai contoh, terutama dalam hal kedisiplinan dan penghormatan terhadap simbol-simbol negara. Jika dalam upacara saja kesungguhan itu menurun, bagaimana mungkin publik berharap profesionalisme dan integritas dalam hal yang lebih besar?
Mungkin benar bahwa faktor teknis bisa saja terjadi — gugup, lelah, atau kurang persiapan. Namun dalam konteks pejabat publik, **“tidak siap” bukan alasan yang pantas** ketika mewakili negara di hadapan rakyat.
Sebagaimana dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” — di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan. Keteladanan adalah inti dari kepemimpinan.
Maka, momentum ini semestinya menjadi cermin bagi seluruh pejabat di negeri ini untuk **merenungi kembali makna profesionalisme dan kehormatan jabatan**. Tidak cukup hanya pandai berpidato, tetapi harus hadir dengan sikap hormat, fokus, dan penghayatan mendalam terhadap nilai-nilai kebangsaan yang mereka junjung.
Upacara bukan sekadar formalitas. Ia adalah ritual kenegaraan yang meneguhkan makna pengorbanan dan kesetiaan terhadap Pancasila — dasar negara yang lahir dari darah dan air mata para pahlawan.