Do’a dan Rasa Letih Warnai Perjuangan di Muzdalifah

MALAM itu, Kamis 9 Zulhijah 1446 H, Muzdalifah menjadi saksi bisu dari jutaan manusia yang menapaki rukun haji dengan tubuh lelah, hati pasrah, dan doa yang mengalir tanpa henti.
Diantara jemaah ada KH Agus Jaya ,Lc,M.Hum, Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI) Kloter 19 PLM Sumsel. Menurut KH Agus Jaya, di tengah hamparan padang terbuka, tanpa tenda, tanpa atap, para jamaah menggelar sajadah di tanah berkerikil.
Mereka bermalam—atau setidaknya berhenti sejenak—di tempat yang disebut Allah dalam Al-Qur’an:
> “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah…”
(QS. Al-Baqarah: 199)
Itulah mabit di Muzdalifah, salah satu wajib haji, bukan rukun. Artinya, kewajiban ini tidak boleh ditinggalkan tanpa uzur. Jika tertinggal, harus diganti dengan dam (denda), bukan dengan pengulangan ibadah.
Di tengah jutaan jamaah dari berbagai negara, kondisi fisik sangat beragam. Ada yang kuat dan masih muda, namun banyak pula yang lansia, sakit, atau tergolong risiko tinggi (risti) dengan penyakit penyerta yang serius.
Untuk mengakomodasi kondisi ini, pemerintah telah menyiapkan skema murur—yaitu jamaah hanya melewati Muzdalifah tanpa turun atau bermalam, cukup berada di dalam kendaraan yang berhenti sejenak di kawasan itu, lalu melanjutkan perjalanan ke Mina. Ini adalah keringanan (rukhshah) yang sah secara syar’i.
Namun, realitas di lapangan tak selalu ideal. Ada jamaah lansia dan risti yang tidak terangkut dalam program murur, baik karena keterbatasan koordinasi, kondisi darurat, atau keterlambatan armada. Mereka pun akhirnya tetap ikut turun dan bermalam di Muzdalifah bersama jamaah reguler lainnya. Ini membuat tantangan bertambah berat.
Setelah wukuf di Arafah yang sudah menguras tenaga, para jamaah yang tidak mengikuti murur harus berjuang melewati malam di tanah terbuka. Dingin menusuk, permukaan keras tanpa pelindung, tubuh renta yang mulai gemetar.
Beberapa tertidur dengan bersandar ke tas, sebagian duduk menggigil menahan rasa sakit. Udara malam dan minimnya pencahayaan menambah ujian.
Namun yang luar biasa adalah ketertiban yang tetap terjaga. Meski lelah, para jamaah tetap berada di dalam batas pagar yang telah ditentukan. Tidak ada yang menerobos ke jalan, tidak ada yang berhamburan ke luar area. Bahkan saat tertidur karena kelelahan, mereka tetap dalam barisan dan tidak melanggar batas. Suasana tenang. Sabar. Penuh kepasrahan.
Ketika waktu berangkat ke Mina tiba, perjuangan pun belum usai. Bus yang datang terlambat, antrean panjang, desak-desakan yang melelahkan. Beberapa jamaah harus menunggu hingga 6–7 jam. Kepadatan menyebabkan bus tidak bisa segera berangkat. AC tak mampu mengimbangi jumlah penumpang. Sebagian duduk di jalan, lainnya berteduh di bawah kolong bus, menahan panas dan dehidrasi.
Namun, tak terdengar keluhan. Jamaah tetap tenang. Tidak ada yang menerobos antrian. Tidak ada yang memaksa. Karena mereka tahu, ini adalah bagian dari manasik—bagian dari ujian kesabaran yang Allah tetapkan dalam ibadah haji.
Firman Allah menjadi penguat:
> “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 153)
Dan sabda Rasulullah ﷺ menjelaskan makna dari setiap rasa sakit dan lelah yang mereka rasakan:
> “Tidaklah seorang Muslim tertimpa kelelahan, penyakit, kesedihan, kesusahan, gangguan, dan kegundahan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus sebagian dosa-dosanya karena hal itu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Haji bukan hanya soal menunaikan rukun. Tapi tentang bagaimana ruh dan hati diuji. Di Muzdalifah, jamaah bukan hanya sedang menunggu waktu lewat, tapi sedang menghadapi ujian sabar. Ujian untuk tetap tertib dalam lelah. Ujian untuk tetap pasrah dalam sakit. Ujian untuk tetap berdoa dalam situasi yang tak nyaman.
Malam itu, di antara kerikil dan langit terbuka, para jamaah belajar arti sabar yang hakiki: menahan diri, menjaga adab, dan menyerahkan segalanya kepada Allah, satu-satunya tempat kembali.
Karena haji sejatinya bukan tentang bergerak menuju Ka’bah, tapi tentang bergerak mendekat kepada-Nya. (ica)



