Membangun “Kakus” Jauh dari Pemukiman, Benarkah?

LAGI viral, Pemerintah Desa (Pemdes) Desa Ulak Bedil Kecamatan Indralaya, Ogan Ilir (OI), membangun WC jauh dari pemukiman.
Menurut Kades, Mukhlis, lokasi WC tersebut sekitar 40 meter dari rumah warga. Dibangunnya WC ini memang permintaan warga, karena warga tersebut akan memindahkan rumahnya tak jauh dari WC tersebut.
Setelah disorot dan gencar diberitakan, kades pun segera memindahkan rumah warga yang mengusulkan pembangunan WC.
Dengan demikian WC tersebut tak lagi terpencil. Informasinya ada 12 WC yang dibangun oleh pemerintah desa, dengan biaya Rp 15 juta/WC termasuk upah tukang.
Water Close (WC) yang nama lamanya “kakus” , saat ini sudah menjadi fasilitas penting bagi masyarakat. Sudah banyak yang membangun WC di dalam rumah, entah di kamar atau di bagian dapur rumah. Paling jauh di halaman belakang rumah.
Tapi kesadaran membangun WC di dalam atau di dekat rumah tersebut, umumnya tergolong kebiasaan relatif baru. Dulu banyak warga yang berdiam di Daerah Aliran Sungai (DAS), memanfaatkan sungai untuk keperluan Mandi, Cuci, dan Kakus (MCK). Ya mandi, mencuci, dan buang air besar, di tempat yang berdekatan, yang disebut “bong”.
Kotoran manusia yang dibuang, mengalir kemana aliran air membawanya. Ada juga yang larut didalam air, atau dimakan ikan. Bagi yang tidak terbiasa dengan kondisi seperti ini, jelas merasa terganggu.
Pengalaman ketika tahun 1988 saya melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa di aliran sungai, banyak mahasiswa peserta KKN yang tidak mau “berak”, karena tidak biasa buang air di “bong”. Apalagi kalau “bong”-nya setengah terbuka.
Sementara kalau desa yang di belakangnya ada hutan belukar/kebun, banyak warganya yang “berak” atau “mixing” di semak belukar tersebut. Baik “berak” di “bong” maupun di hutan belukar, semuanya jelas tidak nyaman. Walau hingga saat ini ada saja yang masih beginian.
Kebiasaan seperti ini masih terjadi, bisa saja karena warga tidak mampu membangun WC, atau karena sudah terbiasa sehingga enjoy dengan pola lama ini. Karena itu pemerintah sudah sejak lama mengimbau dan mengajak masyarakat untuk meninggalkan pola lama tersebut.
Diantaranya membangunkan WC umum melalui program sanitasi. Namun fakta di lapangan, sering kali dijumpai WC “made in” pemerintah ini tidak termanfaatkan dengan baik. Alasan karena WC ini dekat dengan rumah “raja desa” atau di halaman rumah orang lain, sehingga ada rasa malu untuk menggunakannya. Akhirnya WC yang dibangun terkesan mubazir.
Kalau polanya WC Umum (bersama), sebetulnya cocok dibangun di fasilitas umum seperti di area masjid, kantor, atau di sekolahan.
Tapi biasanya juga fasilitas umum sudah memiliki WC. Karena itu solusi yang baik, bantuan pembangunan WC tersebut diberikan kepada rumah tangga perorangan atau di “komplek” Keluarga.
Caranya kepala desa mendata rumah warga mana saja yang belum memiliki WC. Kalau jumlahnya cukup banyak, sebaiknya dianggarkan secara bertahap. Misal dalam waktu 5 tahun tuntas.
Tapi kalau jumlahnya tidak banyak, bisa dibangun sekaligus. Cara seperti ini akan lebih efektif, dibanding membangun WC umum atau semi umum.
Tapi harus diingat juga, tidak cukup hanya membangun WC tok, tapi harus juga disertai pembangunan sumur sebagai sumber air untuk membersihkannya. Apalagi kalau di dekat area pembangunan WC, belum ada sumber air.
Karenanya untuk membangun WC tak bisa seenaknya, sekedar menyelesaikan program. Tapi harus dihitung pemanfaatannya secara jangka panjang. Kalau tidak menghitung azas kemanfaatannya, bisa saja pembangunan WC tersebut menjadi sia-sia dan dinilai salah. (ica)