Meretas Ego di Tanah Arafah

PADANG Arafah bukan tempat yang luas bagi jutaan manusia. Ketika jutaan jamaah haji berkumpul di sana untuk wukuf, yang terasa justru sempit, panas, dan padat. Namun di balik ketidaknyamanan itu, tersimpan pelajaran besar: tentang bagaimana manusia belajar meretas ego, berbagi ruang, dan membangun kebersamaan.
Saat itu, yang tampak adalah lautan manusia dari berbagai negara. Ada yang duduk di atas pasir, ada yang berteduh di bawah kain seadanya, ada yang berbagi botol air mineral dengan orang asing yang baru ditemui pagi itu. Semua seperti melepaskan ego dan hak-hak pribadinya, demi sesuatu yang lebih tinggi: ridha Allah.
Wukuf: Diam yang Penuh Makna
Secara syariat, wukuf di Arafah adalah inti dari ibadah haji. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
> “Al-Ḥajju ‘Arafah.”
“Haji itu adalah wukuf di Arafah.”
(HR. Tirmidzi, Nasai, Abu Dawud)
Wukuf bukan hanya soal hadir secara fisik di Arafah, tetapi hadir secara batin: mengosongkan hati dari keakuan, membuka diri terhadap ampunan dan rahmat Allah. Di tempat yang panas dan sempit itu, manusia diuji bukan hanya oleh cuaca dan kelelahan, tapi oleh dirinya sendiri—terutama egonya.
Sempitnya Ruang, Longgarnya Hati
Kondisi padat merayap saat wukuf bukanlah hal baru. Namun justru di tengah keterbatasan ruang itulah, kita menyaksikan banyak kisah kebersamaan. Seorang jemaah tua dipapah oleh orang yang tak mengenalnya. Seorang jemaah dari Asia mempersilakan saudaranya dari Afrika untuk duduk di bawah naungannya. Tikar digeser, tempat dibagi, air disodorkan. Tak ada yang saling mengenal, tapi semua saling membantu.
Di sinilah kita belajar, bahwa ruang yang sempit bisa menjadi luas jika hati kita cukup lapang.
Allah SWT berfirman:
> “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
(QS. Al-Hujurat: 10)
Ayat ini bukan hanya teori ukhuwah, tetapi hidup dan terasa di Arafah. Di tempat itulah Allah mendidik manusia agar tidak hanya dekat kepada-Nya, tapi juga kepada sesama.
Ego yang Diretas di Padang Arafah
Di dunia, kita sibuk memperluas ruang pribadi: rumah lebih besar, kendaraan lebih lapang, bahkan ruang di media sosial pun kita kuasai untuk diri sendiri. Tapi di Arafah, semua itu hilang. Tak ada sekat kaya-miskin, tak terlihat pangkat dan jabatan. Yang tersisa hanya manusia dan Penciptanya.
Wukuf menjadi simbol meretas ego: mengakui bahwa kita semua kecil, rapuh, dan butuh ampunan. Ego yang biasanya merasa lebih pantas, lebih layak, lebih berhak—dilatih untuk tunduk. Karena siapa pun kita, tetap harus berbagi ruang, waktu, dan doa.
Dari Arafah ke Dunia: Melanjutkan Pelajaran
Arafah hanyalah satu hari dalam hidup. Tapi jika pelajarannya benar-benar kita bawa pulang, maka dampaknya bisa seumur hidup. Kita akan lebih mudah mengalah, lebih ringan berbagi, lebih tulus dalam kebersamaan. Karena kita telah mengalami hari di mana jutaan orang bisa bersatu dalam sempitnya ruang, tapi tetap damai dan khusyuk.
Maka, wajar jika Rasulullah ﷺ bersabda dalam khutbahnya di Arafah:
> “Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab, atau orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali dalam ketakwaan.”
(HR. Ahmad)
Pesan itu seperti ditanamkan langsung di tanah Arafah—tanah di mana seluruh perbedaan lebur dalam satu kesadaran: kita ini sama di hadapan-Nya.
Setelah Arafah, Apakah Kita Masih Sama?
Pertanyaannya, setelah kita kembali dari Arafah—secara fisik maupun simbolik—apakah kita masih membawa semangat yang sama? Apakah kita masih mampu menekan ego, membuka ruang, dan menyambut kebersamaan?
Semoga, sempitnya ruang di Arafah telah membuka ruang dalam hati kita—ruang untuk sabar, untuk peduli, dan untuk merasakan bahwa di tengah jutaan manusia, kita semua hanyalah hamba yang sedang menanti kasih sayang Tuhannya. (ica)